Perang Salib Dimenangkan Oleh Agama
Sudut Pandang Kaum Popularis
Kaum popularis membatasi definisi Perang Salib sebagai perang-perang yang bercirikan gerakan khalayak ramai dengan alasan keagamaan, yakni hanya Perang Salib pertama dan mungkin pula Perang Salib Rakyat.
Nah, itulah informasi mengenai sejarah peradaban Mesir Kuno dari periode pradinasti hingga dominasi Romawi. Mesir telah meninggalkan warisan yang abadi. Seni dan arsitekturnya banyak ditiru, dan barang-barang antik buatan peradaban ini dibawa hingga ke ujung dunia. Reruntuhan-reruntuhan monumentalnya menjadi inspirasi bagi pengelana dan penulis selama berabad-abad.
Perang Salib Menyasar Kaum Bidat Lawan Politik Paus
Meskipun kampanye yang lebih terkenal terjadi di Timur Dekat, beberapa Perang Salib juga terjadi di Eropa. Perang Salib ini diluncurkan oleh tentara yang ambisius. Setelah perang agama pertama ini, komandan lain mencoba membuat paus juga mendukung upaya militer mereka, menurut Morton. “Dalam beberapa dekade, kampanye perang salib terjadi melawan Kekaisaran Bizantium, di Iberia (Spanyol dan Portugal) dan juga di wilayah Baltik.”
Dimulai pada abad ke-13, berbagai paus melancarkan Perang Salib melawan lawan-lawan mereka di Eropa. Perang ini menargetkan petak luas individu, termasuk bidat dalam Susunan Kristen Barat dan lawan politik Paus, kata Morton. Ketika kebijakan dan agenda gerakan Kristen berkembang, begitu pula mereka yang menjadi sasaran Perang Salib.
“Dengan cara ini, perang salib terjadi di banyak daerah berbeda, bukan hanya Mediterania Timur, melawan banyak masyarakat dan komunitas yang berbeda,” kata Morton. “Untuk mata kontemporer, perjalanan ke Yerusalem selalu mempertahankan kepentingan khusus dan unik.”
Perang Salib Tanpa Izin Paus
Meskipun mereka terutama kampanye militer, Perang Salib abad pertengahan didasarkan pada ambisi agama Kristen. Mereka sering kali merupakan kegiatan spiritual yang dapat diklasifikasikan sebagai gerakan “Populer”, tulis Morton. Perang Salib “Populer” terjadi secara sporadis di sebagian besar sejarah gerakan Perang Salib,” katanya.
“Itu pada dasarnya adalah saat-saat ketika para pengkhotbah atau pemimpin yang penuh teka-teki – seringkali dari latar belakang yang sederhana – secara spontan mengumpulkan orang banyak, menghasut pengikut mereka untuk bergabung atau memulai kampanye perang salib. Ini sering kali dengan sedikit atau tanpa izin dari kepausan.”
Dua Perang Salib Populer yang paling terkenal adalah Perang Salib Rakyat (1096) dan Perang Salib Anak (1212). Selama Perang Salib Anak-anak, ribuan orang muda dari Prancis utara berbaris ke selatan menuju pantai Mediterania dengan harapan — yang tidak akan pernah terpenuhi — untuk mencapai Tanah Suci. Perang Salib Rakyat adalah nama yang diberikan untuk bagian pertama dari Perang Salib Pertama, ketika pasukan besar yang dibesarkan Peter the Hermit mencoba merebut kembali Yerusalem dan seluruh Tanah Suci dari kendali Islam.
Perang Salib Populer tidak berhasil. “Mereka hampir tidak pernah mencapai target yang diinginkan. Perang Salib Anak-anak tidak pernah meninggalkan dunia Kristen Barat, dan pasukan Peter the Hermit mengalami kekalahan besar segera setelah mereka memasuki Anatolia yang dikuasai Turki. Terlepas dari kemunduran dan kegagalan militer, gerakan ini menunjukkan betapa populernya Perang Salib dan menjadi lintas spektrum sosial Susunan Kristen Barat.”
Perang Salib Menyasar Kaum Bidat Lawan Politik Paus
Meskipun kampanye yang lebih terkenal terjadi di Timur Dekat, beberapa Perang Salib juga terjadi di Eropa. Perang Salib ini diluncurkan oleh tentara yang ambisius. Setelah perang agama pertama ini, komandan lain mencoba membuat paus juga mendukung upaya militer mereka, menurut Morton. “Dalam beberapa dekade, kampanye perang salib terjadi melawan Kekaisaran Bizantium, di Iberia (Spanyol dan Portugal) dan juga di wilayah Baltik.”
Dimulai pada abad ke-13, berbagai paus melancarkan Perang Salib melawan lawan-lawan mereka di Eropa. Perang ini menargetkan petak luas individu, termasuk bidat dalam Susunan Kristen Barat dan lawan politik Paus, kata Morton. Ketika kebijakan dan agenda gerakan Kristen berkembang, begitu pula mereka yang menjadi sasaran Perang Salib.
“Dengan cara ini, perang salib terjadi di banyak daerah berbeda, bukan hanya Mediterania Timur, melawan banyak masyarakat dan komunitas yang berbeda,” kata Morton. “Untuk mata kontemporer, perjalanan ke Yerusalem selalu mempertahankan kepentingan khusus dan unik.”
Perang Salib Lewat Mesir
Selama abad ke-13, Perang Salib ke Timur Dekat sebagian besar berusaha untuk merebut kembali atau mempertahankan kendali atas kota Yerusalem. Yang paling sukses dari tentara salib kemudian adalah Kaisar Romawi Suci Frederick II. “Frederick sempat berhasil mendapatkan kembali Yerusalem pada tahun 1229, meskipun hanya tetap berada di tangan Frank (Eropa Barat) sampai tahun 1244,” kata Morton. “Dalam kasus Frederick, dia berlayar langsung ke kerajaan Yerusalem dan mengamankan kembalinya Kota Suci selama negosiasi diplomatik dengan sultan Mesir”.
Periode ini juga melihat Mesir menjadi medan pertempuran tentara salib. “Dua Perang Salib lain yang sangat besar, Kelima dan Ketujuh, berusaha menaklukkan Mesir sebelum maju melawan Yerusalem. Rencana mereka adalah mengamankan kekayaan pertanian Delta Nil dan pendapatan kota-kota dagang Mesir,” kata Morton. “Mereka kemudian akan menggunakan sumber daya ini sebagai basis untuk mencapai penaklukan kembali Yerusalem secara permanen. Kedua upaya itu gagal”.
Perang Salib berkembang jauh dari Tanah Suci selama waktu ini, dengan Paus berusaha untuk mendapatkan kontrol yang lebih ketat dari berbagai gerakan. “Mungkin perkembangan paling signifikan dalam perang salib selama abad ini terjadi di wilayah lain,” kata Morton. “Pada saat itu, Paus memulai Perang Salib melawan berbagai lawan di banyak daerah. Ini termasuk bidat Albigensian di Prancis selatan, Mongol di Eurasia Tengah dan lawan politik Paus. Selain itu, kepausan mendorong populasi yang lebih luas untuk berkontribusi pada perang salib baik melalui sumbangan keuangan, doa, prosesi atau ritual keagamaan lainnya,” kata Morton.
Warisan Perang Salib tetap kuat bahkan di abad ke-21, menurut Morton. “Era Perang Salib ke Tanah Suci paling dikenal saat ini sebagai salah satu periode paling konfliktual dalam sejarah hubungan antara Kristen Barat dan Islam,” katanya. “Dalam imajinasi populer, Perang Salib ini dianggap sebagai konflik langsung antara dua agama yang bertentangan.”
Perang Salib sama rumitnya selama Abad Pertengahan. “Ironinya adalah, meskipun Perang Salib terus dikenang dengan cara ini di abad ke-21, sumber-sumber yang bertahan dari periode abad pertengahan – yang ditulis oleh penulis dari berbagai budaya – menceritakan kisah yang berbeda,” kata Morton.
“Mereka memang berisi pernyataan kebencian, kekerasan, pembantaian, hasutan kemenangan untuk perang agama dan kekalahan agama lain. Namun, mereka juga menyertakan deskripsi persahabatan, aliansi, pernyataan rasa hormat dan kekaguman yang melintasi batas budaya dan agama.” Dia menambahkan bahwa “perbatasan perang di Timur Dekat sangat jarang sejelas ‘Kristen vs Muslim’ atau ‘Muslim vs Kristen’.”
Kampanye militer dan gerakan keagamaan yang besar seperti itu pada akhirnya mempengaruhi bidang-bidang pembangunan manusia lainnya di Timur Dekat. Misalnya, mereka mendorong berbagi dan penciptaan teknologi baru, bentuk seni dan arsitektur baru, serta pertukaran ide dan bahkan masakan yang berbeda. “Dua dunia – Muslim dan Kristen Barat – belajar banyak informasi tentang satu sama lain,” kata Morton.
Nah, itulah informasi mengenai terminologi dan latar belakang terjadinya Perang Salib. Perang Salib adalah sebutan bagi perang-perang agama di Asia Barat dan Eropa antara abad ke-11 sampai abad ke-17, yang disokong oleh Gereja Katolik. Perang itu disebut Perang Salib oleh orang Kristen, sedangkan orang Islam menyebutnya dengan Perang Suci.
Perang Salib Pertama (1096–1099) adalah perang pertama dari serangkaian perang agama, atau Perang Salib, yang digagas, didukung, dan diarahkan oleh Gereja Latin pada Abad Pertengahan. Tujuannya adalah merebut kembali Tanah Suci dari kekuasaan Islam. Meskipun Yerusalem telah dikuasai oleh Muslim selama ratusan tahun, berkuasanya Seljuk di wilayah tersebut pada abad ke-11 memunculkan kekhawatiran mengenai keselamatan penduduk Kristen di Yerusalem, menghalangi peziarahan dari Dunia Barat, dan mengancam keberlangsungan Kekaisaran Bizantium. Gagasan awal Perang Salib Pertama bermula pada tahun 1095 ketika Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus meminta dukungan militer dari Konsili Piacenza untuk berperang melawan Turki Seljuk. Sokongan juga diberikan oleh Konsili Clermont setelah Paus Urbanus II menyatakan dukungannya terhadap Kekaisaran Bizantium dan mengajak umat Kristen yang beriman untuk melakukan ziarah bersenjata ke Yerusalem.
Seruan Sri Paus disambut dengan bergelora oleh segenap rakyat di Eropa Barat. Ribuan umat Kristen, yang kebanyakannya adalah rakyat jelata, dipimpin oleh imam Prancis Peter sang Pertapa, menjadi kalangan pertama yang menanggapi seruan Paus. Rombongan tersebut kemudian berarak melintasi Jerman dan melancarkan berbagai tindakan anti-Yahudi, seperti pembantaian Rhineland. Konflik-konflik yang terjadi pada masa itu dinamai dengan Perang Salib Rakyat. Saat hendak menyeberangi wilayah Bizantium di Anatolia, pasukan tersebut disergap dan dihabisi oleh kafilah Turki yang dipimpin oleh Sultan Seljuk Kilij Arslan I dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096.
Kalangan bangsawan Eropa dan pasukannya berangkat pada akhir musim panas 1096 dan tiba di Konstantinopel antara bulan November dan April 1097. Rombongan tersebut terdiri dari bala tentara feodal yang dipimpin oleh para pangeran termasyhur di Eropa Barat: pasukan Prancis selatan dipimpin oleh Raymond IV dari Toulouse dan Adhemar dari Le Puy; pasukan dari Lorraine Hulu dan Hilir dipimpin oleh Godfrey dari Bouillon dan adiknya Baldwin dari Boulogne; pasukan Italia-Norman dipimpin oleh Bohemond dari Taranto dan keponakannya Tancred; serta sejumlah pasukan yang terdiri dari bala tentara Prancis utara dan Flandria di bawah pimpinan Robert Curthose dari Normandia, Stephen dari Blois, Hugh dari Vermandois, dan Robert II dari Flandria. Secara keseluruhan, jumlah serdadu tentara salib diperkirakan sebanyak 100.000 orang.
Tentara salib tiba secara bertahap di Anatolia. Berkat ketiadaan Kilij Arslan, tentara salib berhasil memenangkan pertempuran awal setelah diserbunya Anatolia oleh bangsa Franka dan serangan laut oleh Bizantium semasa Pengepungan Nikea pada bulan Juni 1097. Pada bulan Juli, bala tentara salib memenangkan Pertempuran Dorilaeum melawan pemanah berkuda Turki. Seusai menempuh perjalanan sulit melintasi Anatolia, tentara salib memulai Pengepungan Antiokhia, dan berhasil merebut kota tersebut pada bulan Juni 1098. Yerusalem, yang ketika itu berada di bawah kekuasaan Fatimiyah, dikepung dan direbut pada bulan Juli 1099 setelah para penduduknya dibantai dengan keji. Serangan balasan Fatimiyah berhasil dipukul mundur pada akhir 1099 dalam Pertempuran Ascalon, yang mengakhiri Perang Salib Pertama. Seusai perang, sebagian besar tentara salib kembali ke kampung halamannya.
Empat negara tentara salib didirikan di Tanah Suci: Kerajaan Yerusalem, Kepangeranan Edessa, Kepangeranan Antiokhia, dan Kepangeranan Tripoli. Keberadaan tentara salib tetap dipertahankan di wilayah tersebut sampai runtuhnya benteng besar terakhir tentara salib dalam Pengepungan Akko pada tahun 1291. Setelah tentara salib kehilangan seluruh wilayahnya di Levant, tidak ada lagi upaya nyata yang dilakukan untuk merebut kembali Tanah Suci.
Negeri-negeri Kristen dan Muslim telah bertikai sejak berdirinya Islam pada abad ke-7. Satu abad setelah kematian Nabi Muhammad pada tahun 632, tentara Muslim merebut Yerusalem dan Levant, Afrika Utara, serta Semenanjung Iberia, yang sebelumnya berada di bawah kekuasaan Kristen. Pada abad ke-11, penguasa Kristen secara bertahap menghapuskan pengaruh Islam di Iberia melalui Reconquista, tetapi keterikatan mereka dengan Tanah Suci telah memburuk. Penguasa Muslim di Levant sering kali memberlakukan aturan keras terhadap penganut Kristen.
Perang Salib Pertama adalah upaya dunia Kristen untuk membendung perluasan pengaruh Islam ke Tanah Suci dan Bizantium, terutama oleh Fatimiyah dan Seljuk. Di Eropa Barat, Yerusalem dianggap sebagai tempat patut untuk menunaikan peziarahan penebusan dosa. Meskipun kekuasaan Seljuk di Yerusalem lemah (yang kelak menyerahkan kota tersebut kepada Fatimiyah), para peziarah yang kembali ke Eropa melaporkan adanya kesusahan dan penindasan yang dialami oleh umat Kristen. Dukungan militer yang diperlukan oleh Bizantium bertepatan dengan meningkatnya jumlah prajurit di Eropa Barat yang bersedia menerima perintah perang dari kepausan.
Pada abad ke-11, jumlah penduduk Eropa meningkat pesat akibat munculnya pembaruan di bidang teknologi dan pertanian yang memungkinkan berkembangnya perdagangan. Gereja Katolik telah menjadi lembaga yang sangat berpengaruh bagi peradaban Barat. Kehidupan masyarakat diatur melalui manorialisme dan feodalisme, struktur politik dengan para kesatria dan bangsawan berutang pengabdian militer kepada para penguasa sebagai imbalan atas hak untuk menyewakan tanah dan manor.[5]
Dalam rentang tahun 1050 sampai 1080, gerakan Reformasi Gregorian mengembangkan kebijakan yang semakin tegas demi memperluas kekuatan dan pengaruh Katolik Roma. Hal tersebut memicu pertikaian dengan umat Kekristenan Timur yang tidak mengakui doktrin supremasi kepausan. Gereja Timur menganggap paus hanyalah satu dari lima patriark Gereja, bersama dengan patriark Aleksandria, Antiokhia, Konstantinopel, dan Yerusalem. Lantaran adanya perbedaan kebiasaan, kredo, dan praktik antar umat Kristen, Paus Leo IX mengirim utusan ke Patriark Mikael I Kerularius dari Konstantinopel pada tahun 1054, yang menyebabkan terjadinya pemisahan gereja dan Skisma Timur–Barat.[6]
Umat Kristen awal terbiasa menggunakan kekerasan untuk kepentingan keumatan. Teologi Kristen mengenai kewajiban berperang berkembang sejak kewarganegaraan Romawi dan Kekristenan dipersatukan. Warga negara diwajibkan berperang melawan musuh-musuh kekaisaran. Berawal dari pemikiran teolog abad ke-4, Agustinus dari Hippo, doktrin perang suci mulai berkembang. Agustinus berpendapat bahwa perang agresi itu dosa, tetapi perang bisa dibenarkan jika dinyatakan oleh penguasa yang sah seperti raja atau uskup, untuk mempertahankan diri atau merebut kembali wilayah, dan tidak melakukan kekerasan berkelebihan. Terpecahnya Kekaisaran Karoling di Eropa Barat menyebabkan munculnya golongan prajurit yang saling bertempur sesama mereka sendiri. Tindakan kekerasan umumnya digunakan untuk penyelesaian sengketa, dan kepausan berupaya mengentaskan hal tersebut.[7]
Paus Aleksander II mengembangkan sistem penerimaan prajurit melalui proses penyumpahan untuk membangun pasukan militer, yang kemudian diperluas oleh Gregorius VII ke seluruh Eropa. Hal tersebut dimanfaatkan oleh Gereja dalam menghadapi perseteruan antara Kristen dengan Muslim di Semenanjung Iberia dan melawan penaklukan Sisilia oleh Norman. Gregorius VII melangkah lebih jauh pada tahun 1074, yang berencana memanfaatkan kekuatan militer untuk memperkuat prinsip kedaulatan kepausan dalam perang suci mendukung Bizantium melawan Seljuk, tetapi tidak mendapatkan banyak dukungan. Teolog Anselmus dari Lucca mengambil langkah tegas sehubungan dengan ideologi tentara salib. Ia memaklumatkan bahwa berperang demi tujuan yang benar dapat mengampuni dosa.[8]
Di Semenanjung Iberia, tidak ada pemerintahan Kristen yang berpengaruh. Kerajaan Kristen León, Navarra, dan Catalonia tidak memiliki kesamaan identitas dan keterikatan sejarah yang berlandaskan pada suku atau etnis, sehingga mereka berkali-kali bersatu dan berpisah di sepanjang abad ke-11 dan ke-12. Meskipun kecil, kerajaan-kerajaan tersebut mengembangkan teknik militer atas dasar kebangsawanan, dan pada tahun 1031, runtuhnya Kekhalifahan Córdoba di Spanyol selatan membuka peluang untuk menyatukan wilayah-wilayah tersebut, yang kemudian dinamai Reconquista. Pada tahun 1063, William VIII dari Aquitaine memimpin pasukan yang terdiri dari gabungan kesatria Prancis, Aragon, dan Catalan dalam Pengepungan Barbastro untuk merebut kembali kota-kota yang telah dikuasai Muslim sejak tahun 711. Tindakan tersebut mendapat dukungan penuh dari Paus Aleksander II. Setelah gencatan senjata dinyatakan di Catalonia, para prajurit perang diberi penghapusan dosa. Perang tersebut digolongkan sebagai perang suci, tetapi berbeda dengan Perang Salib Pertama karena tidak ada peziarahan, tidak ada penyumpahan, dan tidak ada pengesahan resmi oleh gereja. Sesaat menjelang Perang Salib Pertama, Paus Urbanus II mengajak umat Kristiani Iberia untuk merebut Tarragona, memakai banyak simbolisme dan retorika yang belakangan juga digunakan untuk memaklumatkan perang salib kepada rakyat Eropa.
Bangsa Italia-Norman berhasil merebut sebagian Italia Selatan dan Sisilia dari Bizantium dan Arab Afrika Utara beberapa dekade menjelang Perang Salib Pertama. Tindakan tersebut dikecam oleh kepausan. Paus Leo IX kemudian menyerukan perlawanan terhadap mereka melalui Pertempuran Civitate, yang berhasil dimenangkan oleh Norman. Kendatipun demikian, ketika menyerbu Sisilia Muslim pada tahun 1059, Norman melancarkannya di bawah panji kepausan Invexillum sancti Petrior, atau panji Santo Petrus. Robert Guiscard merebut kota Bizantium Bari pada tahun 1071 dan melancarkan perlawanan di sepanjang pesisir timur Adriatik di dekat Dyrrachium pada tahun 1081 dan 1085.[13]
Sejak awal berdirinya, Kekaisaran Bizantium merupakan pusat sejarah perbendaharaan, budaya, dan kekuatan militer di Eropa.[14] Di bawah pemerintahan Basilus II, perluasan wilayah kekaisaran mencapai puncaknya pada tahun 1025. Perbatasan Kekaisaran membentang ke arah timur hingga Iran, Bulgaria, dan sebagian besar Italia selatan berada di bawah kendali Bizantium. Perompakan yang marak terjadi di Laut Tengah juga berhasil ditumpas. Hubungan Bizantium dengan Kesultanan Islam yang bersebelahan sama bermasalahnya seperti hubungannya dengan bangsa Slavia atau Kristen Barat. Bangsa Norman di Italia; Pecheneg, Serbia dan Kuman di utara; serta Turki Seljuk di timur, kesemuanya bertikai dengan Kekaisaran Bizantium, dan untuk menghadapi ancaman tersebut, para kaisar merekrut prajurit bayaran, bahkan terkadang direkrut dari para musuh mereka.
Di sisi lain, dunia Islam mengalami kemajuan pesat sejak didirikan pada abad ke-7, dan diperkirakan akan segera menghadapi perubahan besar.[16] Gelombang pertama migrasi bangsa Turki ke Timur Tengah turut memengaruhi sejarah Arab dan Turki sejak abad ke-9. Status quo di Asia Barat terancam oleh gelombang migrasi bangsa Turki berikutnya, terutama kedatangan Turki Seljuk pada abad ke-10. Seljuk adalah klan penguasa kecil yang berasal dari Transoksiana di Asia Tengah. Mereka masuk Islam dan bermigrasi ke Iran untuk mencari peruntungan. Dua dekade kemudian, Seljuk berhasil menaklukkan Iran, Irak dan Timur Dekat. Seljuk dan para prajuritnya adalah Muslim Sunni, yang memicu terjadinya perseteruan dengan Syiah Fatimiyah di Palestina dan Suriah.
Bangsa Seljuk adalah orang-orang nomaden, berbahasa Turki, dan terkadang shamanistik, berbeda dengan rakyat mereka yang menetap dan menuturkan bahasa Arab. Perbedaan tersebut turut melemahkan struktur kekuasaan ketika dipadukan dengan kebiasaan memerintah Seljuk atas suatu wilayah yang berlandaskan pada kecenderungan politik, bukannya pada letak geografi. Kaisar Romanos IV Diogenes berupaya memadamkan serangan sporadis Seljuk, tetapi kalah dalam Pertempuran Manzikert pada tahun 1071 dan ditawan oleh pasukan Muslim. Kekalahan tersebut menjadi pukulan besar bagi Bizantium dan pertanda berkembangnya Seljuk, yang menyebabkan munculnya seruan untuk melancarkan Perang Salib Pertama. Kota-kota penting Bizantium seperti Nikea dan Antiokhia jatuh ke tangan Muslim pada tahun 1081 dan 1086. Kota-kota tersebut sangat tersohor di Barat karena signifikansi historisnya dan kelak juga menjadi sasaran penaklukan kembali oleh tentara salib.[21]
Sejak tahun 1092, status quo di Timur Tengah kacau balau setelah kematian penguasa sah Kesultanan Seljuk, Nizham al-Mulk, yang kemudian disusul oleh kematian sultan Seljuk Malik Syah dan khalifah Fatimiyah Al-Mustansir Billah. Lantaran dilanda kebingungan dan perpecahan, dunia Islam mengabaikan dunia luar, sehingga mereka tidak siap ketika tentara salib menyerbu. Malik Syah digantikan sebagai penguasa Kesultanan Rûm di Anatolia oleh Kilij Arslan, dan di Suriah oleh saudaranya Tutush I, yang memulai perang saudara melawan Berkyaruq demi menjadi penguasa tunggal. Setelah Tutush terbunuh pada tahun 1095, putranya Ridwan dan Duqaq mewarisi Aleppo dan Damaskus, yang kemudian membagi-bagi Suriah menjadi sejumlah emirat. Sedangkan Kerbogha menjadi penguasa Mosul. Mesir dan sebagian Palestina dikuasai oleh Fatimiyah. Fatimiyah, di bawah pemerintahan khalifah Al-Musta'li dan Al-Afdhal Syahansyah, menyerahkan Yerusalem kepada Seljuk pada tahun 1073, tetapi berhasil merebut kembali kota tersebut pada tahun 1098 dari Artuqid, suku Turki kecil yang berkerabat dengan Seljuk, tepat sebelum kedatangan tentara salib.[22]
Menurut sejarawan Jonathan Riley-Smith dan Rodney Stark, penguasa Muslim di Tanah Suci kerap memberlakukan aturan keras "terhadap setiap orang yang mempertunjukkan iman Kristen secara terang-terangan":[23] [24][25][26]
Pada tahun 1026, Richard dari Saint-Vanne dirajam sampai mati karena ia ketahuan mengadakan misa. Pejabat Muslim juga mengabaikan perampokan dan pembantaian yang sering dilakukan terhadap peziarah Kristen, seperti kejadian pada tahun 1064 ketika Muslim menyergap empat uskup dan ribuan peziarah Jerman saat mereka memasuki Tanah Suci, membantai dua pertiga di antaranya.
Penindasan terhadap umat Kristen semakin parah setelah Turki Seljuk menyerbu Yerusalem. Desa-desa yang diduduki oleh Turki di sepanjang jalan menuju Yerusalem mulai memungut biaya masuk pada peziarah Kristen. Pada prinsipnya, Seljuk mengizinkan para peziarah untuk memasuki Yerusalem, tetapi mereka kerap memberlakukan tarif yang tinggi dan membiarkan para peziarah diserang oleh penduduk setempat. Banyak peziarah yang diculik dan dijual sebagai budak, sedangkan selebihnya disiksa. Selepas itu, hanya rombongan besar dan bersenjata yang berani berziarah, meskipun tetap saja banyak yang tewas atau berbalik pulang. Para peziarah yang berhasil selamat dari perjalanan berbahaya tersebut “kembali ke Barat dalam keadaan letih dan melarat, membawa serta pengalaman yang mengerikan untuk diceritakan.” Kabar mengenai serangan keji terhadap para peziarah serta penindasan terhadap umat Kristen Timur di Yerusalem menimbulkan kemarahan di Eropa.[27]
Kabar mengenai penindasan tersebut sampai ke telinga umat Kristen Eropa di Barat beberapa tahun setelah Pertempuran Manzikert. Seorang saksi mata dari Franka berkata: "Sejauh mata memandang, Muslim Turki menghancurkan kota-kota dan kastil-kastil beserta pemukiman. Gereja-gereja diratakan dengan tanah. Para rohaniwan dan rahib yang mereka tangkap, sebagian dibantai sedangkan sebagian lagi dijadikan budak, termasuk para imam dan yang lainnya, dan para biarawati—oh, alangkah malangnya!—dipaksa memuaskan nafsu mereka."[28] Hal demikianlah yang memicu kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus untuk menulis surat kepada Robert II dari Flandria. Ia menulis:
Tempat-tempat suci dinodai dan dihancurkan dengan berbagai cara. Para bangsawan perempuan dan putri-putri mereka, yang ditelanjangi, diperkosa satu demi satu, seperti binatang. Beberapa [penyerang] tanpa rasa malu memamerkan para perawan di depan ibunya sendiri dan memaksanya menyanyikan lagu-lagu yang durjana dan cabul sampai keinginan mereka terpenuhi... laki-laki dari segala usia dan latar belakang, anak-anak, remaja, orang tua, bangsawan, petani, dan yang lebih buruk lagi, rohaniwan dan rahib, bahkan uskup, dinodai dengan dosa sodomi, dan kini dikabarkan bahwa seorang uskup telah terjerat dalam dosa yang sangat menjijikkan tersebut.[29]
Kaisar memperingatkan bahwa jika Konstantinopel jatuh ke tangan Turki, tidak hanya ribuan umat Kristen yang akan disiksa, diperkosa dan dibunuh, tetapi “relikui paling suci dari sang Juru Selamat,” yang dikumpulkan selama berabad-abad, akan lenyap. “Maka dari itu, dalam nama Tuhan... kami memohon kepada Saudara untuk membawa semua prajurit Kristus yang setia ke kota ini... dengan kedatangan Saudara, Saudara akan menemukan ganjarannya di surga, dan jika Saudara tidak datang, Tuhan akan menghukum Saudara.”[30]
Penggerak gerejawi utama yang melatarbelakangi Perang Salib Pertama adalah Konsili Piacenza dan Konsili Clermont yang diadakan pada tahun 1095 oleh Paus Urbanus II.[31] Konsili tersebut bertujuan untuk mengerahkan rakyat Eropa Barat menuju Tanah Suci.[32] Kaisar Bizantium Aleksius I Komnenus, yang khawatir atas makin merangseknya Seljuk ke wilayah Bizantium, mengirim utusan ke Konsili Piacenza pada bulan Maret 1095 untuk meminta bantuan dari Paus Urbanus dalam melawan serbuan Turki.[33]
Urbanus menanggapinya dengan bijak. Ia bertekad memulihkan Skisma Timur-Barat yang sudah berlangsung selama empat puluh tahun dan hendak menyatukan Gereja di bawah payung kepausan dengan membantu Gereja Timur pada masa-masa sulitnya. Aleksius dan Urbanus telah menjalin hubungan erat sejak tahun 1089, serta secara terbuka mendiskusikan mengenai peluang penyatuan gereja-gereja Kristen. Tanda-tanda kerja sama yang mungkin terjalin antara Roma dengan Konstantinopel sudah muncul bertahun-tahun menjelang Perang Salib.[34]
Pada bulan Juli 1095, Urbanus bepergian ke tanah kelahirannya di Prancis untuk merekrut tentara salib. Perjalanannya di Prancis diakhiri dengan menggelar Konsili Clermont yang berlangsung selama sepuluh hari. Pada tanggal 27 November, ia menyampaikan khotbah berapi-api kepada himpunan jemaat yang terdiri dari para bangsawan dan klerus Prancis.[35] Ada lima versi khotbah yang dicatat oleh orang-orang yang diduga menghadiri konsili (Baldric dari Dol, Guibert dari Nogent, Robert sang Rahib, dan Fulcher dari Chartres) atau oleh orang-orang yang kelak ikut serta dalam Perang Salib (Fulcher dan penulis anonim Gesta Francorum), serta versi lainnya yang ditulis oleh sejarawan di kemudian hari (seperti William dari Malmesbury dan William dari Tirus).[36] Seluruh catatan tersebut ditulis setelah Yerusalem direbut, sehingga sulit untuk mengetahui apa yang sebenarnya dititahkan oleh Paus Urbanus, atau mana yang dikarang setelah keberhasilan Perang Salib. Catatan kontemporer hanyalah sejumlah surat yang ditulis oleh Urbanus pada tahun 1095.[37] Diperkirakan juga bahwa Urbanus mungkin menyampaikan khotbah tentang Perang Salib di Piacenza, tetapi satu-satunya catatan mengenai hal tersebut hanyalah tulisan Bernold dari St. Blasien dalam Chronicon.[38]
Kelima versi catatan khotbah tersebut memiliki sejumlah perbedaan, tetapi semua versi, kecuali yang ada di Gesta Francorum, sama-sama mencatat bahwa Urbanus menyabdakan tentang kekerasan dalam masyarakat Eropa dan kewajiban untuk menjaga Perdamaian Tuhan; tentang menolong orang Yunani yang meminta bantuan; tentang kejahatan yang dilakukan terhadap umat Kristen di timur; serta tentang jenis perang baru, yaitu ziarah bersenjata, dengan imbalan di surga, dan penghapusan dosa diberikan kepada siapa pun yang gugur dalam perang tersebut.[39] Tidak semua versi secara spesifik menyebutkan Yerusalem sebagai tujuan akhir. Namun, muncul dugaan bahwa khotbah Urbanus selanjutnya menyebutkan bahwa ia berharap pengembaraan ke Yerusalem sudah dilakukan sejak dulu.[40] Menurut salah satu catatan khotbah, kerumunan hadirin yang menggebu-gebu meneriakkan Deus lo volt!—Tuhan menghendakinya.
Para bangsawan besar Prancis dan pasukannya yang terlatih bukanlah rombongan pertama yang memulai perjalanan menuju Yerusalem.[42] Urbanus telah merencanakan keberangkatan tentara salib pertama pada tanggal 15 Agustus 1096, bertepatan dengan Hari Kenaikan Maria, tetapi beberapa bulan sebelumnya, serombongan pasukan tak terduga yang terdiri dari para petani dan bangsawan rendahan berangkat lebih dulu menuju Yerusalem, yang dipimpin oleh seorang imam karismatik bernama Peter sang Pertapa.[43] Peter adalah pengkhotbah yang paling berhasil menyampaikan pesan Urbanus dan menumbuhkan semangat yang bergelora di kalangan pengikutnya, meskipun ia bukanlah pengkhotbah "resmi" yang disetujui oleh Urbanus di Clermont.[44] Pada awalnya, diyakini bahwa pengikut Peter terdiri dari sekelompok besar petani tidak terlatih dan tidak berpendidikan yang bahkan tidak tahu di mana letak Yerusalem, tetapi ada juga sejumlah kesatria di antara para petani, termasuk Walter Sans Avoir, yang merupakan wakil Peter dan memimpin serombongan pasukan terpisah.
Kurangnya keterampilan militer membuat pasukan Peter mudah mengalami kesulitan, meskipun mereka masih berada di wilayah Kristen.[46] Pasukan yang dipimpin oleh Walter menjarah kawasan Beograd dan Zemun, dan berhasil tiba di Konstantinopel tanpa kendala berarti. Sementara itu, pasukan yang dipimpin oleh Peter, yang berarak terpisah dari pasukan Walter, bertempur dengan bangsa Hungaria dan kemungkinan berhasil merebut Beograd. Di Niš, gubernur Bizantium memberi mereka makanan, tetapi Peter tidak bisa mengendalikan pasukannya dan bentrokan pecah dengan warga setempat, yang berhasil diredakan oleh tentara Bizantium. Peter tiba di Konstantinopel pada bulan Agustus. Pasukannya kemudian bergabung dengan pasukan Walter yang telah tiba lebih dulu, serta dengan rombongan tentara salib dari Prancis, Jerman, dan Italia. Pasukan lainnya dari Bohemia dan Sachsen tercerai-berai dan tidak berhasil melewati Hungaria.
Rombongan Peter dan Walter yang tak terkendali mulai menjarah di pinggiran kota untuk mencari perbekalan dan makanan. Hal tersebut mendorong Aleksius untuk memberangkatkan mereka menyeberangi Selat Bosporus satu minggu lebih cepat. Setelah tiba di Asia Kecil, rombongan tentara salib tercerai-berai dan mulai menjarah pedesaan, menyelinap memasuki wilayah Seljuk di dekat Nikea. Bangsa Turki yang jauh lebih berpengalaman membantai sebagian besar rombongan tersebut.[42] Serombongan pasukan Italia dan Jerman dikalahkan dalam Pengepungan Xerigordon pada akhir September. Sementara itu, pasukan Walter dan Peter, meskipun kebanyakannya tidak terlatih dalam pertempuran, dipimpin oleh kurang lebih 50 kesatria, yang bertempur melawan pasukan Turki dalam Pertempuran Civetot pada bulan Oktober 1096. Para pemanah Turki melumpuhkan bala tentara salib dan Walter adalah salah seorang yang tewas. Peter, yang tidak berada di Konstantinopel pada saat itu, belakangan bergabung dengan tentara salib gelombang kedua, bersama dengan segelintir penyintas dari Civetot.
Di Eropa, imbauan Perang Salib Pertama memicu terjadinya pembantaian Rhineland yang menyasar orang-orang Yahudi. Pada akhir 1095 dan awal 1096, beberapa bulan sebelum keberangkatan tentara salib resmi pada bulan Agustus, terjadi sejumlah penyerangan terhadap masyarakat Yahudi di Prancis dan Jerman. Pada bulan Mei 1096, Emicho dari Flonheim memerangi orang Yahudi di Speyer dan Worms. Tentara salib tidak resmi lainnya dari Swabia, yang dipimpin oleh Hartmann dari Dillingen, bersama dengan para sukarelawan dari Prancis, Inggris, Lotharingia, dan Flandria yang dipimpin oleh Drogo dari Nesle dan William si Tukang Kayu beserta penduduk setempat, ikut membantu Emicho dalam menggempur masyarakat Yahudi di Mainz pada akhir Mei. Di Mainz, seorang perempuan Yahudi memilih membunuh anak-anaknya ketimbang membiarkannya dibunuh oleh tentara salib. Kepala rabi Kalonymus ben Meshullam bunuh diri sebelum tentara salib menghabisinya. Pasukan Emicho kemudian meneruskan perjalanan ke Cologne, sedangkan pasukan lainnya bergerak menuju Trier, Metz, dan kota-kota lain. Peter sang Pertapa diduga juga turut serta menganiaya orang Yahudi, dan serombongan pasukan yang dipimpin oleh seorang imam bernama Folkmar memerangi orang Yahudi di Bohemia.
Kálmán dari Hungaria harus menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh tentara salib di sepanjang perjalanannya melintasi Hungaria menuju Tanah Suci pada tahun 1096. Ia membasmi dua rombongan tentara salib yang menjarah kerajaannya. Pasukan Emicho akhirnya melanjutkan perjalanan ke Hungaria, tetapi juga dilumpuhkan oleh Kálmán, dan pengikut Emicho tercerai-berai. Sejumlah pasukan berhasil bergabung dengan pasukan utama, sedangkan Emicho sendiri harus pulang ke kampung halamannya. Kebanyakan penyerang hendak memaksa umat Yahudi untuk memeluk agama Kristen, meskipun sebagian juga mengincar harta mereka. Kekerasan fisik terhadap orang Yahudi bukanlah kebijakan resmi gereja dalam perang salib, dan para uskup Kristen, terutama Uskup Agung Cologne, melakukan upaya terbaik untuk melindungi orang Yahudi. Satu dekade sebelumnya, Uskup Speyer memindahkan Yahudi di kota tersebut ke sebuah ghetto berpagar untuk melindungi mereka dari kezaliman Kristen dan menyerahkan kendali atas masalah peradilan kepada kepala rabi Yahudi. Namun, sejumlah uskup juga menerima uang sebagai imbalan karena melindungi Yahudi. Serangan-serangan tersebut diduga dipicu oleh anggapan bahwa orang Yahudi dan Muslim adalah musuh Kristus, dan oleh sebab itu harus diperangi atau dikristenkan.
Empat pasukan utama bala tentara salib berangkat dari Eropa Barat pada bulan Agustus 1096. Mereka mengambil rute yang berbeda menuju Konstantinopel, sebagian melintasi Eropa Timur dan Balkan, dan sebagian lagi menyeberangi Laut Adriatik. Kálmán dari Hungaria mengizinkan Godfrey dan pasukannya melewati Hungaria dengan syarat saudaranya, Baldwin, dijadikan sebagai sandera untuk menjamin perilaku baik pasukannya. Seluruh pasukan berkumpul di luar Tembok Konstantinopel era Romawi antara bulan November 1096 dan April 1097. Hugh dari Vermandois yang pertama tiba, disusul oleh Godfrey, Raymond, dan Bohemond.[53]
Perekrutan prajurit untuk perang besar semacam ini dilakukan di seluruh benua. Perkiraan jumlah tentara salib yang berangkat dari Eropa Barat seusai Konsili Clermont berkisar antara 70.000 hingga 80.000 orang, dan lebih banyak lagi prajurit yang bergabung dalam waktu tiga tahun berikutnya. Perkiraan jumlah kesatria berkisar antara 7.000 hingga 10.000; 35.000 hingga 50.000 prajurit pejalan kaki; dan jumlah keseluruhannya mencapai 60.000 hingga 100.000 orang, termasuk prajurit nonkombatan.[54] Khotbah Paus Urbanus direncanakan dengan baik. Ia telah membahas perang salib dengan Adhemar dari Le Puy[55] dan Raymond IV dari Toulouse,[56] sehingga rencana tersebut dengan cepat mendapatkan dukungan dari dua bangsawan paling berpengaruh di Prancis selatan. Adhemar sendiri menghadiri konsili dan menjadi orang pertama yang "menerima tanda salib". Sepanjang tahun 1095 dan 1096, Urbanus menyebarkan pesannya ke seluruh Prancis, serta mendesak para uskup dan legatus agar berkhotbah di keuskupan mereka di Prancis, Jerman, dan Italia. Alhasil, tanggapan terhadap khotbah tersebut jauh lebih besar daripada yang diharapkan oleh Sri Paus, apalagi Aleksius. Dalam perjalanannya berkeliling Prancis, Urbanus berupaya melarang golongan tertentu (umumnya perempuan, biarawan, dan orang sakit) untuk bergabung dengan tentara salib, tetapi hal demikian hampir mustahil dilakukan. Pada akhirnya, kebanyakan calon tentara salib bukanlah dari kalangan kesatria, melainkan dari kalangan petani miskin yang tidak punya keterampilan berperang, yang bergabung semata karena alasan kesalehan emosional dan pribadi yang tidak bisa dikendalikan oleh bangsawan gerejawi dan kaum feodal. Biasanya, setiap kali khotbah Paus berakhir, para sukarelawan akan mengambil sumpah untuk menuntaskan peziarahan ke Gereja Makam Kudus; mereka juga diberi tanda salib yang dijahit pada pakaian.
Sulit untuk menilai alasan ribuan prajurit memilih bergabung dengan tentara salib. Sebagian besarnya tidak memiliki catatan sejarah sama sekali, bahkan para kesatria tersohor sekalipun, yang kisahnya biasanya diceritakan ulang oleh para biarawan atau rohaniwan. Diduga kuat bahwa kesalehan adalah alasan utama seseorang bergabung dengan tentara salib. Di tengah-tengah antusiasme umatnya, Urbanus tetap memastikan bahwa akan ada pasukan kesatria yang direkrut dari kalangan bangsawan Prancis. Selain Adhemar dan Raymond, para pemimpin lain yang direkrut di sepanjang tahun 1096 adalah Bohemond dari Taranto,[60] sekutu pembaharu Paus di Italia selatan; keponakan Bohemond, Tancred;[61] Godfrey dari Bouillon,[62] yang sebelumnya merupakan sekutu antireformasi Kaisar Romawi Suci; adik Godfrey, Baldwin dari Boulogne;[63] Hugh I, Pangeran Vermandois,[64] adik Philippe I dari Prancis; Robert Curthose,[65] kakak William II dari Inggris; serta kerabatnya, Stephen II, Pangeran Blois,[66] dan Robert II, Pangeran Flandria.[67] Para tentara salib tersebut berasal dari Prancis utara dan selatan, Flandria, Jerman, dan Italia selatan, sehingga dibagi menjadi empat pasukan terpisah yang tidak selalu bersama, meskipun mereka dipersatukan oleh tujuan yang sama.[68]
Tentara salib dikomandoi oleh sejumlah bangsawan paling berkuasa di Prancis, bahkan banyak yang meninggalkan segalanya, dan sering kali seluruh keluarganya ikut serta dalam perang salib dengan biaya besar yang mereka tanggung sendiri. Robert dari Normandia menitipkan Kadipaten Normandia kepada kakaknya, William II dari Inggris, dan Godfrey menjual atau menggadaikan hartanya kepada gereja. Tancred mengkhawatirkan dosa yang akan ditanggungnya lantaran berperang sebagai seorang kesatria, tetapi ia memandang perang salib sebagai cara untuk membenarkan tindakannya dikarenakan alasan religius. Tancred dan Bohemond, serta Godfrey, Baldwin, dan kakaknya, Eustace III, Pangeran Boulogne,[70] adalah contoh keluarga yang bersama-sama ikut dalam perang salib. Kebanyakan antusiasme untuk ikut serta dalam perang salib didorong oleh hubungan keluarga, karena sebagian besar tentara salib Prancis masih berkerabat jauh. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus, hasrat pribadi juga turut berperan dalam mendorong seseorang bergabung dengan tentara salib. Misalnya, Bohemond tergerak oleh ambisinya untuk menguasai wilayah di timur, dan sebelumnya ia telah berupaya menggempur Bizantium untuk mewujudkan keinginan tersebut. Perang salib memberinya kesempatan lebih lanjut, yang ia wujudkan setelah Pengepungan Antiokhia dengan mengambil alih kota tersebut dan mendirikan Kepangeranan Antiokhia.[71]
Bala tentara salib berangkat ke Konstantinopel dengan menempuh berbagai rute. Godfrey mengambil rute darat melintasi Balkan,[46] sedangkan Raymond dari Toulouse memimpin pasukan Provence menyusuri pesisir Iliria, dan kemudian ke timur menuju Konstantinopel.[72] Bohemond dan Tancred memimpin pasukan Normandia menyeberangi Laut Adriatik ke Durazzo, dan kemudian menempuh jalur darat ke Konstantinopel.[73] Pasukan tersebut tiba di Konstantinopel dengan sedikit makanan dan mengharapkan bantuan perbekalan dari Kaisar Aleksius. Aleksius awalnya curiga, mengingat pengalamannya dengan pasukan Perang Salib Rakyat, dan juga karena para kesatria tersebut merupakan musuh lamanya dari Normandia, terutama Bohemond, yang beberapa kali telah menyerbu wilayah Bizantium bersama ayahnya dan dicurigai berancang-ancang mengatur serangan ke Konstantinopel selagi berkemah di luar perbatasan. Kali ini, Aleksius lebih siap menghadapi kedatangan tentara salib dan insiden kekerasan yang terjadi di sepanjang jalan lebih sedikit.
Tentara salib berharap agar Aleksius menjadi pemimpin pasukan, tetapi ia tidak tertarik untuk bergabung dengan tentara salib, dan berupaya keras memberangkatkan mereka ke Asia Kecil secepat mungkin. Sebagai imbalan atas makanan dan perbekalan yang ia berikan, Aleksius meminta para pemimpin pasukan bersumpah setia kepadanya dan berjanji untuk mengembalikan wilayah yang direbut dari Turki ke Kekaisaran Bizantium. Godfrey adalah pemimpin pertama yang menyanggupi sumpah tersebut, dan hampir semua pemimpin lain mengikutinya, kendati mereka melakukannya setelah perang hampir pecah di kota antara warga dan tentara salib, yang sangat ingin menjarah perbekalan. Hanya Raymond yang menolak bersumpah, walaupun ia berjanji bahwa ia tidak akan merugikan kekaisaran. Menjelang seluruh pasukan dipindahkan melintasi Bosporus, Aleksius menasihati para pemimpin mengenai taktik menghadapi pasukan Seljuk yang akan segera mereka perangi.
Bala tentara salib menyeberang ke Asia Kecil pada bulan Mei 1097 dan bergabung dengan Peter sang Pertapa beserta segelintir pasukannya yang masih tersisa. Di samping itu, Aleksius juga mengutus dua jenderalnya, Manuel Boutoumites dan Tatikios, untuk membantu tentara salib. Sasaran pertama mereka adalah Nikea, sebuah kota yang dulunya berada di bawah kekuasaan Bizantium, tetapi saat itu dijadikan sebagai ibu kota Kesultanan Rûm Seljuk di bawah pimpinan Kilij Arslan.[76] Arslan sedang berperang melawan Danishmend di Anatolia tengah pada saat itu, dan meninggalkan harta serta keluarganya di Nikea, menyepelekan kekuatan tentara salib yang baru tersebut.
Tatkala tentara salib tiba di Nikea pada tanggal 14 Mei 1097, kota tersebut dikepung, dan ketika Arslan mendengar kabar tersebut, ia bergegas kembali ke Nikea dan menyerbu tentara salib pada tanggal 16 Mei. Pasukannya berhasil dipukul mundur oleh tentara salib yang jumlahnya lebih banyak dari perkiraannya, dan kerugian besar dialami oleh kedua belah pihak dalam pertempuran tersebut. Pengepungan terus berlanjut, tetapi tentara salib gagal memblokade Danau İznik, yang menjadi jalur utama untuk mencapai Nikea. Pasukan Aleksius tiba dan ia memerintahkan agar kapal-kapal milik tentara salib digulingkan di daratan agar bisa berlabuh di danau. Kapal akhirnya berhasil dilayarkan, dan pasukan Turki menyerah pada tanggal 18 Juni.
Ada ketidakpuasan di kalangan prajurit Franka yang dilarang menjarah kota. Hal tersebut diatasi oleh Aleksius dengan memberi hadiah uang kepada bala tentara salib. Catatan sejarah yang ditulis di kemudian hari melebih-lebihkan ketegangan yang terjadi antara prajurit Yunani dan prajurit Franka. Stephen dari Blois, dalam suratnya kepada istrinya, Adela dari Blois, memastikan bahwa itikad baik dan kerja sama masih tetap terjalin pada kala itu.[79] Jatuhnya Nikea dianggap sebagai hasil kerja sama yang jarang terjadi antara tentara salib dengan Bizantium.
Pada akhir Juni 1097, tentara salib melanjutkan perjalanan melewati Anatolia. Mereka diiringi oleh serombongan pasukan Bizantium di bawah pimpinan Tatikios, dan masih berharap bahwa Aleksius kelak akan mengirimkan seluruh pasukan Bizantium. Mereka juga membagi pasukan menjadi dua rombongan agar lebih mudah diatur—satu rombongan dipimpin oleh Normandia, dan rombongan lainnya oleh Prancis. Kedua rombongan tersebut berencana untuk bertemu kembali di Dorilaeum, tetapi pada 1 Juli, rombongan Normandia, yang berarak jauh di depan rombongan Prancis, disergap oleh Kilij Arslan.[81] Setelah mengalami kekalahan di Nikea, Arslan mengumpulkan pasukan yang jauh lebih besar dari sebelumnya, dan mengepung rombongan Normandia dengan segerombolan pemanah berkuda. Rombongan Normandia "membentuk formasi pertahanan yang kuat", mengelilingi semua perlengkapan perang dan prajurit nonkombatan yang mengiringi mereka di sepanjang perjalanan, dan kemudian mengirim permintaan bantuan kepada rombongan lainnya. Ketika rombongan Prancis tiba, Godfrey menerobos garis pertahanan Turki dan legatus Adhemar menyergap pasukan Turki dari belakang. Pasukan Turki, yang bertekad melumpuhkan rombongan Normandia dan tidak menduga kedatangan rombongan Prancis, melarikan diri dari medan pertempuran.
Ketika melintasi Anatolia, arak-arakan tentara salib tidak menemui kendala yang berarti, tetapi perjalanan tersebut tidaklah mudah, sebab Arslan telah membakar dan menghancurkan seluruh perbekalan tentara salib sebelum kabur. Saat itu bertepatan dengan pertengahan musim panas, dan tentara salib sangat kekurangan makanan dan air; banyak prajurit dan kuda yang mati. Penduduk Kristen setempat terkadang memberi mereka makanan atau uang, tetapi hal demikian jarang terjadi, alhasil tentara salib terpaksa menjarah dan merampok setiap kali ada kesempatan. Para komandan terus berdebat mengenai kepemimpinan keseluruhan pasukan, tetapi tidak ada yang cukup layak mengambil alih komando seorang diri, dan Adhemar lah yang diakui sebagai pemimpin spiritual dalam pasukan.[83]
Setelah melewati Gerbang Kilikia, Baldwin dan Tancred memisahkan diri dari pasukan utama dan menuju ke negeri Armenia.[84] Baldwin berhasrat mendirikan sebuah kerajaan bagi dirinya sendiri di Tanah Suci,[85] dan di Armenia, ia bisa mengandalkan dukungan dari penduduk Kristen setempat, khususnya seorang petualang bernama Bagrat. Baldwin dan Tancred memimpin dua rombongan terpisah, yang bertolak dari Heraclea pada tanggal 15 September. Tancred tiba lebih dulu di Tarsus. Ia lalu membujuk garnisun Seljuk untuk mengibarkan panji pasukannya di benteng kota. Baldwin tiba di Tarsus keesokan harinya, dan tanpa diduga, pasukan Turki mengizinkan Baldwin mengambil alih dua menara. Lantaran kalah jumlah, Tancred memutuskan tidak bertempur untuk merebut kota tersebut. Tidak lama berselang, rombongan kesatria Normandia tiba di Tarsus, tetapi Baldwin tidak mengizinkan mereka masuk. Pasukan Turki membantai rombongan Normandia pada malam itu, dan pasukan Baldwin menyalahkannya atas kejadian tersebut. Baldwin berlindung di sebuah menara dan meyakinkan para prajuritnya bahwa pembantaian tersebut bukanlah kesalahannya. Seorang perompak bernama Guynemer dari Boulogne berlayar mengarungi Sungai Berdan ke Tarsus dan bersumpah setia kepada Baldwin. Ia lalu menyewa anak buah Guynemer untuk menjaga kota selagi ia melanjutkan upayanya untuk menguasai Armenia.
Sementara itu, Tancred berhasil merebut kota Mamistra. Baldwin tiba di kota tersebut kira-kira tanggal 30 September. Richard dari Salerno, seorang prajurit Normandia, hendak membalas dendam atas peristiwa di Tarsus, yang menyebabkan terjadinya bentrokan antara pasukan Baldwin dan Tancred. Baldwin meninggalkan Mamistra dan bergabung dengan pasukan utama di Marash, tetapi Bagrat membujuknya untuk melancarkan serangan ke wilayah Armenia yang padat penduduk, dan Baldwin memisahkan diri dari pasukan utama pada tanggal 17 Oktober. Penduduk Armenia menyambut kedatangan Baldwin, membantai prajurit Seljuk, dan berhasil merebut benteng kota Ravendel dan Turbessel sebelum akhir 1097. Baldwin lantas mengangkat Bagrat sebagai gubernur Ravendel.
Penguasa Armenia, Thoros dari Edessa, mengirim utusan kepada Baldwin pada awal 1098, meminta bantuannya dalam melawan Seljuk yang makin mendekat ke wilayahnya.[89] Sebelum bertolak ke Edessa, Baldwin memerintahkan penangkapan Bagrat, yang dituduhnya bersekongkol dengan Seljuk. Bagrat disiksa dan dipaksa menyerahkan Ravendel. Baldwin lantas berangkat ke Edessa pada awal Februari, sempat dihadang oleh pasukan Balduk, emir Samosata, dalam perjalanannya. Setibanya di Edessa, ia disambut baik oleh Thoros dan penduduk Kristen setempat. Di luar dugaan, Thoros mengadopsi Baldwin sebagai anak dan menjadikannya sebagai penguasa pendamping di Edessa. Diperkuat oleh pasukan Edessa, Baldwin menyerbu wilayah Balduk dan memerintahkan prajuritnya untuk menempati sebuah benteng kecil di dekat Samosata.[90]
Tidak lama setelah Baldwin kembali dari peperangan, sekelompok bangsawan setempat mulai berkomplot melawan Thoros, diduga atas hasutan Baldwin. Kerusuhan mulai pecah di Edessa, yang memaksa Thoros untuk berlindung di benteng kota. Baldwin berjanji menyelamatkan ayah angkatnya, tetapi ketika para pemberontak menerobos masuk ke benteng kota pada tanggal 9 Maret dan membunuh Thoros serta istrinya, ia tidak melakukan apa-apa untuk menghentikan para pemberontak tersebut. Keesokan harinya, penduduk kota mengakui Baldwin sebagai penguasa mereka. Ia lalu diberi gelar Pangeran Edessa, dan mendirikan negara tentara salib pertama.[91]
Kendati Edessa dulunya adalah wilayah Bizantium yang direbut Seljuk pada tahun 1087, Aleksius tidak menuntut Baldwin untuk menyerahkan kota tersebut. Selain itu, pencaplokan Ravendel, Turbessel, dan Edessa kelak memperkuat kedudukan pasukan tentara salib di Antiokhia. Wilayah di sepanjang Sungai Efrat menyediakan banyak pasokan makanan bagi tentara salib, dan benteng-bentengnya menghalangi pergerakan pasukan Seljuk.[92]
Lantaran pasukannya kecil, Baldwin memanfaatkan diplomasi untuk mengamankan kekuasaannya di Edessa. Ia menikahi Arda dari Armenia, yang kelak menjadi permaisuri Kerajaan Yerusalem, dan memerintahkan para pengikutnya untuk menikahi perempuan setempat. Perbendaharaan Edessa yang kaya memungkinkannya untuk mempekerjakan prajurit bayaran dan membeli Samosata dari Balduk. Perjanjian pemindahan kekuasaan Samosata adalah kesepakatan bersahabat pertama yang dilakukan antara seorang pemimpin tentara salib dan penguasa Muslim, yang tetap diberi wewenang untuk menjadi gubernur kota.
Salah seorang tokoh penting di Edessa pada abad ke-12 adalah Belek Ghazi, cucu mantan gubernur Seljuk di Yerusalem, Artuk. Belek adalah emir Artuqiyah, yang menyewa Baldwin untuk memadamkan pemberontakan di Saruj.[94] Ketika para pemimpin Muslim Saruj mendatangi Balduk untuk meminta bantuan, Balduk bergegas menuju Saruj, sayangnya pasukannya tidak mampu menahan pengepungan dan akhirnya menyerah kepada Baldwin. Baldwin hendak menyandera istri dan anak-anak Balduk, tetapi ditolak. Baldwin lantas menangkap dan mengeksekusi Balduk. Dengan dikuasainya Saruj, Baldwin berhasil menyatukan wilayah kekuasaannya dan memastikan tetap berhubungan dengan pasukan utama tentara salib. Kerbogha, yang bertekad mengalahkan tentara salib, mengumpulkan pasukan besar untuk melenyapkan Baldwin. Dalam perjalanannya menuju Antiokhia, Kerbogha mengepung tembok Edessa selama tiga minggu pada bulan Mei, tetapi tidak berhasil merebutnya. Kegagalannya tersebut berperan penting dalam kemenangan tentara salib di Antiokhia.
Tentara salib, tanpa Baldwin dan Tancred, terus bergerak menuju Antiokhia, yang terletak di antara Konstantinopel dan Yerusalem. Sebagaimana dijelaskan oleh Stephen dari Blois dalam suratnya, Antiokhia adalah "sebuah kota yang sangat luas, diperkokoh dengan kekuatan yang luar biasa dan hampir tak tertembus". Gagasan untuk menyerang dan merebut kota tersebut mulai diragukan oleh bala tentara salib.[79] Berharap bisa memaksa pemimpin kota menyerahkan diri, atau menemukan pengkhianat di dalam kota—taktik yang dahulunya menyebabkan Antiokhia jatuh ke tangan Bizantium dan kemudian Turki Seljuk—tentara salib memulai pengepungan pada tanggal 20 Oktober 1097. Antiokhia teramat besar sehingga tentara salib tidak memiliki cukup pasukan untuk mengepungnya secara penuh, alhasil kota tersebut tetap mendapatkan pasokan makanan.[96] Pengepungan Antiokhia kelak disebut sebagai "pengepungan paling menarik dalam sejarah."
Pada bulan Januari, pengepungan telah berlangsung selama delapan bulan, yang amat menguras tenaga dan menyebabkan ratusan, atau bahkan ribuan tentara salib mati kelaparan. Adhemar mempercayai bahwa hal tersebut disebabkan oleh dosa-dosa yang telah mereka perbuat, maka dilakukanlah ibadat berpuasa, berdoa, bersedekah, dan kebaktian. Para perempuan diusir dari perkemahan. Banyak prajurit yang melarikan diri, termasuk Stephen dari Blois. Ketersediaan makanan lumayan menenangkan keadaan, sebab pasokan tiba secara teratur dari Kilikia dan Edessa lewat pelabuhan Latakia dan St Symeon yang baru direbut. Pada bulan Maret, armada kecil Inggris tiba membawa pasokan. Pasukan Franka memanfaatkan perpecahan di dunia Muslim dan menduga bahwa tentara salib adalah tentara bayaran Bizantium. Para sultan Seljuk, Duqaq dari Damaskus dan Ridwan dari Aleppo, mengirimkan tambahan pasukan bagi Turki pada bulan Desember dan Februari, dan gabungan pasukan tersebut kemungkinan akan berhasil memenangkan pertempuran.
Setelah mengalami kegagalan, Kerbogha[99] membentuk koalisi pasukan yang berasal dari Suriah selatan, Irak utara, dan Anatolia dengan tekad memperluas kekuasaannya dari Suriah hingga ke Mediterania. Koalisi tersebut butuh waktu tiga minggu untuk merebut kembali Saruj. Bohemond berupaya membujuk para pemimpin lainnya bahwa jika Antiokhia berhasil direbut, ia boleh menguasainya sendirian, dan mengungkapkan bahwa seorang komandan Armenia di dalam tembok kota setuju untuk membiarkan tentara salib masuk. Stephen dari Blois telah meninggalkan pasukannya. Ia berpapasan dengan rombongan Kaisar Aleksius di Philomelium dan berpesan kepada kaisar bahwa para pejuang telah kalah dan meyakinkannya agar kembali ke Konstantinopel dan jangan melanjutkan perjalanan menuju Anatolia.
Firouz dari Armenia membantu Bohemond dan serombongan kecil pasukan memasuki kota pada tanggal 2 Juni. Ia membuka sebuah gerbang, dan pada saat terompet dibunyikan, penduduk Kristen di kota tersebut membuka gerbang lainnya dan tentara salib pun masuk dengan leluasa. Tentara salib mulai menjarah kota dan membantai sebagian besar penduduk Muslim dan Kristen Yunani, Suriah, dan Armenia yang kebingungan.
Pada tanggal 4 Juni, barisan depan pasukan Kerbogha yang berjumlah 40.000 prajurit tiba dan mengepung pasukan Franka. Dari tanggal 10 sampai 14 Juni, pasukan Kerbogha menggempur tembok kota mulai dari fajar hingga senja. Bohemond dan Adhemar menutup gerbang kota untuk mempertahankan diri serta mencegah para prajuritnya melarikan diri. Kerbogha lalu mengubah taktik dengan membuat bala tentara salib kelaparan. Perilaku para prajurit di dalam kota amat tidak beradab dan peluang kekalahan makin besar. Seorang prajurit Prancis bernama Peter Bartholomew mengaku bahwa Rasul Santo Andreas mendatanginya untuk menunjukkan lokasi Tombak Takdir yang digunakan untuk menusuk Yesus Kristus di kayu salib. Pengakuan tersebut seharusnya membangkitkan semangat tentara salib, tetapi cerita tersebut tidaklah benar, sebab terjadinya dua minggu berselang sebelum pertempuran terakhir untuk merebut Antiokhia. Pada tanggal 24 Juni, prajurit Franka mengusulkan untuk menyerahkan diri, tetapi ditolak. Pada pagi hari tanggal 28 Juni 1098, prajurit Franka keluar dari kota dalam empat rombongan pasukan untuk menghadapi musuh. Kerbogha membiarkan pasukan tersebut mempersiapkan diri dan hendak menghabisi mereka di tempat terbuka. Sayangnya, kedisiplinan pasukan Muslim tidak bertahan lama dan serangan tidak karuan mulai dilancarkan. Pasukan Muslim kewalahan mengalahkan pasukan Franka yang jumlahnya dua kali lebih sedikit. Mereka membuka Gerbang Jembatan dan melarikan diri dari medan pertempuran. Dengan sedikit korban, pasukan Muslim kocar-kacir dan Antiokhia berhasil direbut.
Stephen dari Blois tengah berada di Alexandretta dan belum mengetahui apa yang terjadi di Antiokhia. Ia menganggap sudah tidak ada harapan kemenangan bagi tentara salib dan bersiap meninggalkan Timur Tengah. Dalam perjalan pulang menuju Prancis, ia memperingatkan Aleksius mengenai situasi di Antiokhia. Para pemimpin pasukan di Antiokhia menganggap ketidakhadiran Aleksius di medan pertempuran adalah bentuk pengkhianatan, dan oleh sebab itu mereka berhak membatalkan sumpah kepadanya. Bohemond mengklaim Antiokhia sebagai miliknya, tetapi tidak semuanya setuju (terutama Raymond dari Toulouse), alhasil Perang Salib tertunda sampai akhir tahun selagi para bangsawan saling bertikai mengenai kepemilikan wilayah. Tatkala membahas masa-masa tersebut, para sejarawan berpendapat bahwa bangsa Franka dari Prancis utara, Provençal dari Prancis selatan,[catatan 2] dan Normandia dari Italia selatan menganggap diri mereka sebagai bangsa yang terpisah, sehingga memicu perseteruan sebab masing-masingnya menganggap bahwa bangsa mereka lebih cakap dari yang lainnya. Sejarawan lainnya berpendapat bahwa selain disebabkan oleh perseteruan antar bangsa, ambisi pribadi di kalangan para pemimpin tentara salib juga bisa disalahkan sebagai penyebabnya.
Sementara itu, wabah penyakit merebak, yang menewaskan banyak prajurit, termasuk legatus Adhemar, yang wafat pada tanggal 1 Agustus.[105] Jumlah kuda juga jauh berkurang dari sebelumnya, dan yang lebih buruk lagi, para petani Muslim di Antiokhia menolak memberikan makanan kepada tentara salib. Pada bulan Desember setelah Pengepungan Ma'arrat al-Numan, sejumlah sejarawan mengungkapkan bahwa telah terjadi kanibalisme pertama di kalangan tentara salib, meskipun informasi tersebut tidak muncul dalam satu pun catatan sejarah Muslim kontemporer. Pada saat bersamaan, para kesatria dan pasukan jelata semakin resah dan mengancam akan melanjutkan perjalanan ke Yerusalem tanpa para pemimpin yang masih berseteru. Akhirnya, pada awal 1099, perjalanan dilanjutkan setelah Bohemond dinyatakan sebagai Pangeran Antiokhia pertama.[108][109]
Tentara salib melanjutkan perjalanan menyusuri pesisir Laut Tengah tanpa kendala berarti, sebab para penguasa setempat lebih memilih untuk berdamai dan memberi mereka perbekalan ketimbang melawan. Jumlah pasukan semakin banyak, Robert Curthose dan Tancred sepakat untuk menjadi vasal Raymond IV dari Toulouse, yang cukup kaya untuk menggaji mereka berdua. Godfrey dari Bouillon, yang sekarang mendapat dukungan dari saudaranya di Edessa, menolak melakukan hal serupa. Pada bulan Januari, Raymond membongkar tembok kota Ma'arrat al-Numan dan mulai berjalan ke selatan menuju Yerusalem, bertelanjang kaki dan berpakaian seperti seorang peziarah. Tindakannya tersebut diikuti oleh Robert dan Tancred beserta pasukan mereka masing-masing.[110]
Raymond berencana menguasai Tripoli dan mendirikan sebuah negara yang setara dengan Antiokhia. Pada 14 Februari 1099, ia memulai pengepungan Arqa, sebuah kota di Lebanon utara. Sementara itu, Godfrey dan Robert II dari Flandria, yang juga menolak mengabdi kepada Raymond, bergabung dengan tentara salib yang tersisa di Latakia dan berkirab ke selatan pada bulan Februari. Bohemond awalnya ikut berkirab bersama mereka, tetapi ia kembali ke Antiokhia untuk mengukuhkan kekuasaannya melawan Bizantium yang makin merangsek maju. Tancred lantas meninggalkan Raymond dan bergabung dengan Godfrey. Pasukan terpisah yang ikut serta mengiringi Godfrey dipimpin oleh Gaston IV dari Béarn.[110]
Godfrey, Robert, Tancred, dan Gaston tiba di Arqa pada bulan Maret selagi pengepungan masih berlangsung. Pons dari Balazun tewas terkena peluru batu. Keadaan saat itu penuh kemelut, tidak hanya di kalangan para pemimpin pasukan, tetapi juga di kalangan para klerus. Sejak tewasnya Adhemar, tidak ada pemimpin jelas Perang Salib, dan sejak muncul dugaan ditemukannya Tombak Takdir, ada rasa saling curiga di kalangan para rohaniwan. Pada tanggal 8 April, Arnulf dari Chocques menantang Peter Bartholomew untuk menjalani ujian api. Peter menjalani ujian tersebut dan tewas beberapa hari kemudian akibat luka bakar yang dideritanya. Tewasnya Peter memunculkan anggapan bahwa penemuan Tombak Takdir hanyalah cerita palsu. Hal demikian memudarkan kewenangan Raymond, sebab ialah yang paling mendukung kebenaran cerita tersebut.[111]
Pengepungan Arqa berlangsung hingga 13 Mei. Setelahnya, tentara salib hengkang tanpa merebut apa pun. Fatimiyah telah merebut kembali Yerusalem dari Seljuk setahun sebelumnya dan berupaya membuat kesepakatan dengan tentara salib. Fatimiyah berjanji akan menjamin kebebasan para peziarah Kristen untuk mengunjungi Tanah Suci dengan syarat tentara salib tidak menggempur mereka, tetapi kesepakatan tersebut ditolak. Gubernur Yerusalem, Iftikhar al-Dawla, sangat sadar akan ambisi tentara salib. Maka dari itu, ia mengusir seluruh penduduk Kristen Yerusalem dan meracuni sumur-sumur di kota tersebut. Pada tanggal 13 Mei, tentara salib tiba di Tripoli. Emir Jalal al-Mulk Abu'l Hasan memberi mereka kuda dan bersumpah akan memeluk Kristen jika tentara salib berhasil mengalahkan Fatimiyah. Tentara salib melanjutkan perjalanan ke arah selatan di sepanjang pantai, melewati Beirut pada tanggal 19 Mei dan Tirus pada 23 Mei. Pada tanggal 3 Juni, mereka berbelok ke pedalaman Jaffa dan tiba di Ramla, yang telah ditinggalkan oleh para penduduknya. Keuskupan Ramla-Lydda didirikan di Gereja St. Georgius sebelum mereka melanjutkan perjalanan ke Yerusalem. Pada tanggal 6 Juni, Godfrey mengirim Tancred dan Gaston untuk merebut Betlehem. Di sana, Tancred mengibarkan panji pasukannya di atap Gereja Kelahiran Yesus. Pada 7 Juni, tentara salib tiba di Yerusalem. Banyak prajurit yang menangis saat melihat kota yang telah membuat mereka menempuh perjalanan panjang tersebut.[112]
Kedatangan tentara salib di Yerusalem disambut oleh suasana pedesaan yang tandus, serta kekurangan persediaan air dan makanan. Bantuan tidak bisa diharapkan, terlebih adanya ketakutan bahwa penguasa Fatimiyah setempat akan menyerang mereka setiap saat. Tidak ada peluang untuk memblokade kota sebagaimana yang mereka lakukan di Antiokhia; tentara salib tidak memiliki cukup pasukan, perbekalan, dan waktu. Sebaliknya, mereka memutuskan untuk langsung menyerbu kota.[113] Tentara salib tidak punya banyak pilihan, sebab saat mereka tiba di Yerusalem, prajurit yang tersisa hanya sekitar 12.000 orang, termasuk 1.500 prajurit berkuda.[114] Maka dimulailah Pengepungan Yerusalem yang menentukan. Rombongan pasukan yang menyerbu kota terdiri dari prajurit dari beragam asal-usul dengan kesetiaan yang berbeda-beda, yang sama-sama dipersatukan oleh semangat kebersamaan. Sementara itu, Godfrey dan Tancred mendirikan perkemahan di sebelah utara kota, sedangkan Raymond berkemah di sebelah selatan. Rombongan Provençal tidak ikut serta dalam penyerbuan awal pada tanggal 13 Juni 1099. Lagi pula, penyerbuan tersebut hanya bersifat untung-untungan, bukan untuk meraih kemenangan telak. Seusai memanjat tembok kota, tentara salib dipukul mundur dari bagian dalam kota.[112]
Usai gagal menyerbu Yerusalem, diadakan pertemuan antar para pemimpin pasukan. Dalam pertemuan tersebut, disepakati bahwa penyerbuan yang lebih terkoordinasi diperlukan untuk merebut Yerusalem. Pada tanggal 17 Juni, sekelompok pelaut Genoa di bawah pimpinan Guglielmo Embriaco tiba di Jaffa, yang membawa serta sejumlah perekayasa terampil, dan yang lebih penting, pasokan kayu (yang diperoleh dari kapal) untuk membangun mesin kepung bagi tentara salib.[116] Semangat tentara salib terangkat ketika pastor Peter Desiderius mengaku telah menerima penglihatan ilahi dari Adhemar Le Puy, memerintahkan mereka untuk berpuasa dan kemudian berarak khidmat tanpa alas kaki mengelilingi tembok kota, dengan demikian Yerusalem akan bisa ditaklukkan, sesuai dengan kisah Alkitab mengenai Pertempuran Yerikho.[112] Setelah berpuasa selama tiga hari, pada tanggal 8 Juli tentara salib melakukan arak-arakan khidmat sesuai perintah Desiderius, yang berakhir di Bukit Zaitun. Di sana, Peter sang Pertapa menyampaikan khotbah kepada mereka,[118] dan tidak lama berselang, para bangsawan yang berseteru akhirnya mencapai kesepakatan. Tak lama setelah itu, tersiar kabar bahwa bala bantuan Fatimiyah telah berangkat dari Mesir, yang mendorong tentara salib untuk kembali menyerbu kota.[112]
Serbuan terakhir ke Yerusalem dimulai pada tanggal 13 Juli. Pasukan Raymond menggempur gerbang selatan sedangkan pasukan lainnya menggempur tembok utara. Awalnya, pasukan Provençal yang menyerbu gerbang selatan tidak membuat kemajuan berarti, tetapi pasukan di tembok utara bernasib lebih baik, dan pertahanan kota terus melemah. Pada tanggal 15 Juli, gempuran terakhir dilancarkan di kedua sisi kota, dan akhirnya, benteng kota di tembok utara berhasil direbut. Dalam kepanikan, pasukan Fatmiyah mengacir dari tembok utara dan selatan, walhasil tentara salib berhasil memasuki kota.[119]
Pembantaian yang terjadi setelah penaklukan Yerusalem mencoreng citra tentara salib, yang dipandang sebagai "perpaduan antara kekerasan ekstrem dan ketersiksaan iman".[120] Kesaksian langsung dari tentara salib sendiri membuktikan bahwa tidak diragukan lagi pembantaian besar-besaran setelah penaklukan kota memang terjadi. Namun, sejumlah sejarawan berpendapat bahwa skala pembantaian tersebut terlalu dibesar-besarkan dalam sumber-sumber sejarah abad pertengahan yang ditulis seusai peristiwa tersebut.[121][122]
Setelah tembok utara berhasil digempur, para prajurit pembela kota melarikan diri ke Bukit Bait Suci, yang kemudian dikejar oleh Tancred dan pasukannya. Pasukan Tancred tiba di sana lebih dulu. Mereka lalu menggempur wilayah tersebut, membantai banyak prajurit Fatimiyah yang bersembunyi di sana, sedangkan selebihnya berlindung di Masjid Al-Aqsa. Tancred lantas memerintahkan pasukannya untuk menghentikan pembantaian dan menawarkan perlindungan kepada prajurit yang bersembunyi di masjid.[119] Tatkala prajurit pembela kota di tembok selatan mengetahui bahwa tembok utara telah runtuh, mereka melarikan diri ke benteng kota, sehingga Raymond dan pasukan Provençal bisa memasuki kota dengan leluasa. Iftikhar al-Dawla, komandan garnisun Yerusalem, membuat kesepakatan dengan Raymond. Ia bersedia menyerahkan benteng kota dengan syarat jaminan meninggalkan kota dengan selamat.[119]
Pembantaian terus berlangsung sepanjang hari; umat Muslim dibunuh secara membabi-buta, dan Yahudi yang berlindung di sinagoge tewas ketika rumah ibadah tersebut dibakar oleh tentara salib. Keesokan harinya, para prajurit yang ditawan oleh Tancred di masjid dibantai dengan keji. Kendati demikian, sejumlah Muslim dan Yahudi di Yerusalem berhasil selamat dari pembantaian, baik dengan cara melarikan diri atau ditawan untuk kemudian ditebus. Surat dari para pemuka Karait Ascalon menjelaskan mengenai upaya besar-besaran Yahudi Ascalon untuk menebus tawanan Yahudi dan mengirim mereka ke kota Aleksandria yang lebih aman. Penduduk Kristen Timur telah diusir oleh gubernur Yerusalem sebelum kota dikepung, sehingga lolos dari pembantaian.[119]
Pada tanggal 22 Juli, pertemuan diadakan di Gereja Makam Suci untuk menetapkan bentuk pemerintahan bagi Yerusalem. Dengan wafatnya Uskup Agung Yunani, tidak ada kandidat gerejawi yang layak dijadikan pemimpin religius, seperti yang diyakini oleh sejumlah pihak. Raymond dari Toulouse menyatakan diri sebagai pemimpin utama tentara salib sejak tahun 1098, tetapi dukungan terhadapnya berkurang sejak kegagalannya dalam mengepung Arqa dan berupaya mendirikan kerajaannya sendiri. Itulah sebabnya ia dengan bijak menolak dijadikan penguasa, beralasan bahwa mahkota hanya berhak dikenakan oleh Kristus. Upaya tersebut diduga dilakukannya untuk menghasut pemimpin lain agar menolak gelar tersebut, tetapi Godfrey sudah terbiasa dengan taktik semacam itu. Godfrey makin percaya diri untuk mengajukan diri sebagai penguasa Yerusalem berkat dukungan dari pasukan Lorraine, yang dipimpin oleh saudara-saudaranya, Eustace dan Baldwin, vasal dari dinasti Ardennes-Bouillon. Godfrey kemudian ditunjuk sebagai penguasa Yerusalem, digelari Advocatus Sancti Sepulchri atau Pembela Makam Suci. Raymond, yang marah atas penunjukan tersebut, berupaya merebut Menara Daud sebelum meninggalkan Yerusalem.
Sebelum kabar mengenai kemenangan tentara salib tiba di Roma, Paus Urbanus II mangkat pada tanggal 29 Juli 1099, empat belas hari setelah penaklukan Yerusalem oleh tentara salib. Ia digantikan oleh Paus Paskalis II, yang kelak menjabat hampir 20 tahun. Walaupun Kerajaan Yerusalem mampu bertahan hingga tahun 1291, kota Yerusalem kembali jatuh ke tangan Muslim di bawah pimpinan Saladin pada tahun 1187, setelah berkobarnya Pertempuran Hattin. Yerusalem diperintah oleh penguasa Muslim selama 40 tahun, dan akhirnya kembali ke tangan Kristen setelah serangkaian Perang Salib susulan.[126]
Pada bulan Agustus 1099, wazir Fatimiyah Al-Afdhal Syahansyah mendaratkan 20.000 kafilah dari Afrika Utara di Ascalon.[127] Geoffrey dan Raymond membariskan pasukannya untuk menghadapi bala tentara Muslim pada tanggal 9 Agustus, dan terjadilah Pertempuran Ascalon. Tentara salib hanya memiliki 1.200 kesatria dan 9.000 prajurit. Lantaran kalah jumlah dua banding satu, tentara salib berancang-ancang melancarkan serangan fajar kejutan, dan berhasil melumpuhkan kafilah Muslim yang terlalu percaya diri dan kurang persiapan. Namun, garnisun Fatimiyah hanya bersedia menyerah kepada Raymond, syarat yang tidak diterima oleh Godfrey. Tentara salib memang menang telak dalam pertempuran tersebut, tetapi Ascalon tetap berada di tangan Muslim dan menjadi ancaman bagi Kerajaan Yerusalem yang baru berdiri.
Usai ditaklukkannya Yerusalem, kebanyakan tentara salib menganggap bahwa peziarahan mereka telah selesai dan saatnya kembali ke kampung halaman. Hanya 300 kesatria dan 2.000 infanteri yang tetap tinggal untuk menjaga Palestina. Berkat dukungan dari para kesatria Lorraine, Godfrey ditunjuk sebagai penguasa Yerusalem, menghalangi penunjukan Raymond. Ketika Godfrey wafat setahun kemudian, para kesatria Lorraine berupaya menggagalkan rencana Dagobert dari Pisa, legatus kepausan di Yerusalem, yang ingin menjadikan Yerusalem sebagai negara teokrasi. Sebaliknya, mereka menobatkan Baldwin sebagai raja Latin pertama Yerusalem. Bohemond kembali ke Eropa dan kelak ikut berperang melawan Bizantium di Italia, tetapi pasukannya kalah pada tahun 1108 di Dyrrhachium. Setelah kematian Raymond, penerusnya berhasil merebut Kepangeranan Tripoli pada tahun 1109 dengan dukungan dari Genoa. Hubungan antara negara-negara tentara salib yang baru berdiri, yakni Kepangeranan Edessa dan Kepangeranan Antiokhia, cukup rumit. Keduanya berperang bersama ketika tentara salib mengalami kekalahan dalam Pertempuran Harran tahun 1104, tetapi Antiokhia menyatakan diri sebagai penguasa mutlak dan menghalangi kembali berkuasanya Baldwin II setelah ia ditangkap dalam pertempuran tersebut. Kaum Franka turut ikut campur dalam perpolitikan di Timur Dekat, sehingga umat Muslim dan Kristen sering kali terlibat perseteruan. Perluasan wilayah Antiokhia berakhir pada tahun 1119 setelah kalah telak oleh Turki dalam Pertempuran Ager Sanguinis.
Banyak prajurit yang harus pulang sebelum mencapai Yerusalem, dan banyak pula yang bahkan tidak ikut berperang sama sekali. Tatkala kabar kemenangan tentara salib terdengar sampai ke Eropa, orang-orang tersebut dicemooh dan diejek oleh keluarganya atau dikucilkan oleh gereja.[133] Tentara salib yang ikut berperang dan kembali ke kampung halamannya di Eropa Barat diperlakukan bak pahlawan. Robert II dari Flandria dijuluki Hierosolymitanus (orang Yerusalem) berkat keberhasilannya merebut Yerusalem. Perang Salib 1101 kembali diikuti oleh Stephen dari Blois dan Hugh dari Vermandois, keduanya tidak berhasil tiba di Yerusalem saat Perang Salib Pertama. Bala tentara salib 1101 hampir dilumpuhkan di Asia Kecil oleh Seljuk, tetapi prajurit yang selamat kelak membantu mempertahankan kerajaan setelah tiba di Yerusalem.[134]
Terbatasnya sumber tertulis menyebabkan sulit untuk mengetahui tanggapan dari dunia Islam. Segelintir sumber sejarah yang ada menunjukkan bahwa Perang Salib nyaris tidak dipedulikan oleh umat Muslim. Hal tersebut diduga disebabkan oleh kesalahpahaman budaya, ketika bangsa Turki dan Arab mengira bahwa tentara salib hanyalah prajurit bayaran Bizantium, bukannya pejuang perang berlandaskan agama yang berambisi untuk menaklukkan dan menguasai. Selain itu, dunia Islam pada masa itu masih terpecah. Para penguasa Muslim saling bertikai memperebutkan Kairo, Damaskus, Aleppo, dan Bagdad. Seusai penaklukkan Yerusalem, tidak ada serangan balasan yang berlandaskan Keislaman, sehingga memberi tentara salib kesempatan untuk mempererat persatuan.[135]
Dunia Kristiani takjub oleh keberhasilan Perang Salib Pertama dan berpandangan bahwa kemenangan tersebut terjadi berkat kuasa ilahi. Seandainya perang salib gagal, besar kemungkinan paradigma perang salib akan diabaikan. Sebaliknya, istilah perang agama telah dikenal selama berabad-abad, dan perang salib sendiri menjadi salah satu peristiwa bersejarah yang paling banyak ditulis pada abad pertengahan.[136] Historiografi (penulisan sejarah) Perang Salib Pertama dan Perang Salib lainnya ditunjukkan melalui beragam karya yang menyesuaikan dengan pandangan penulis dan zaman. Analisis kritis karya-karya mengenai Perang Salib Pertama dapat ditemukan dalam tulisan Jonathan Riley-Smith dan Christopher Tyerman.[138]
Buku terbitan Prancis pada abad ke-19, Recueil des historiens des croisades (RHC), merupakan sumber naratif awal Perang Salib Pertama yang dikumpulkan dari para penulis Latin, Arab, Yunani, Armenia, dan Suryani. Dokumen-dokumen tersebut diterbitkan dalam bahasa asli dan kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Karya tersebut ditulis berdasarkan tulisan abad ke-17 berjudul Gesta Dei per Francos, yang disusun oleh Jacques Bongars.[139] Sejumlah dokumen berbahasa Ibrani mengenai Perang Salib Pertama juga ikut diterbitkan. Daftar pustaka lengkap dapat ditemukan di buku The Routledge Companion to the Crusades.[140] Lihat juga Crusade Texts in Translation dan Selected Sources: The Crusades,[141] di Internet Medieval Sourcebook Universitas Fordham.
Sumber naratif berbahasa Latin mengenai Perang Salib Pertama adalah: (1) Gesta Francorum karya penulis tak dikenal; (2) Historia de Hierosolymitano itinere karya Peter Tudebode; (3) kronik Monte Cassino Historia belli sacri; (4) Historia Francorum qui ceperunt Iherusalem karya Raymond dari Aguilers; (5) Gesta Francorum Iherusalem Perefrinantium karya Fulcher dari Chartres; (6) Historia Hierosolymitanae expeditionis karya Albert dari Aachen; (7) Hierosolymita karya Ekkehard dari Aura; (8) Historia Hierosolymitana karya Robert sang Rahib; (9) Historiae Hierosolymitanae libri IV karya Baldric dari Dol; (10) Gesta Tancredi in expeditione Hierosolymitana karya Radulph dari Caen; dan (11) Dei gesta per Francos karya Guibert dari Nogent. Sumber-sumber tersebut memuat kesaksian langsung dari Dewan Clermont dan tentara salib sendiri.[142] Sejarawan Amerika August Krey telah mengumpulkan narasi-narasi tersebut dalam bukunya berjudul The First Crusade: The Accounts of Eyewitnesses and Participants, yang memuat berbagai kronologi beserta surat-surat yang ditulis semasa Perang Salib Pertama.[143]
Karya penting lainnya yang mengkaji Perang Salib Pertama adalah naskah yang ditulis dari sudut pandang bangsa Yunani, yang ditemukan dalam Alexiad karya putri Kekaisaran Bizantium Anna Komnene. Kajian Perang Salib dari sudut pandang Islam berasal dari dua sumber utama. Pertama, The Chronicle of Damascus karya sejarawan Arab Ibnu al-Qalanisi. Kedua, The Complete History karya sejarawan Arab (atau Kurdi) Ibnul Atsir al-Jazari. Karya lainnya yang dianggap penting adalah naskah berbahasa Armenia dan Suryani berjudul Chronicle karya Matthew dari Edessa dan Mikhael orang Suriah. Tiga kronik penting berbahasa Ibrani antara lain Solomon bar Simson Chronicle yang membahas mengenai pembantaian Rhineland.[144] Penjelasan lengkap tentang sumber-sumber Perang Salib Pertama bisa ditemukan dalam La Syrie du nord à l'époque des croisades et la principauté franque d'Antioche karya Claude Cahen.
Penulis Gesta, Fulcher dari Chartres, dan Raymond dari Aguilers, kesemuanya ikut terjun dalam Perang Salib dengan pasukan yang berbeda, dan banyak tulisan mereka yang dianggap sebagai sumber dasar historiografi Perang Salib Pertama. Sebagian tulisan Fulcher dan Raymond diilhami oleh Gesta, begitu juga dengan Peter Tudebode dan Historia Belli Sacri, dengan beberapa penyesuaian. Gesta ditulis ulang oleh Guibert dari Nogent, Baldric dari Dol, dan Robert sang Rahib, yang tulisannya paling banyak dibaca. Karya Albert kemungkinan tidak terinspirasi dari Gesta, tetapi mengandalkan keterangan saksi mata lainnya. Karya turunan yang berkaitan dengan Perang Salib antara lain Gesta Francorum Iherusalem expugnatium karya Bartolf dari Nangis,[146] De Captione Antiochiae karya Henry dari Huntingdon,[147] Chronicon sive Chronographia karya Sigebert dari Gembloux,[148] dan De Bello a Christianis contra Barbaros karya Benedetto Accolti.[149]
Pandangan abad ke-19 mengenai karya-karya di atas dapat ditemukan dalam History and Literature of the Crusades karya Heinrich von Sybel.[151] Von Sybel juga membahas beberapa surat dan korespondensi penting yang terjadi semasa Perang Salib Pertama, yang memberikan wawasan sejarah baru.[152] Lihat juga Die Kreuzzugsbriefe aus den Jahren, 1088–1100,[153] karya Heinrich Hagenmeyer dan Letters of the Crusaders[154] karya Dana Carleton Munro. Hagenmeyer juga menulis Chronologie de la première croisade 1094–1100, sebuah catatan harian pada Perang Salib Pertama, yang disesuaikan dengan sumber asli dan disertai komentar.[155]
Kepopuleran beragam tulisan mengenai perang salib membentuk pandangan seputar perang salib dalam benak masyarakat abad pertengahan. Banyak puisi dan lagu yang diilhami oleh Perang Salib Pertama, termasuk Historia de via Hierosolymitana karya Gilo dari Toucy.[156] Chanson de geste menceritakan Perang Salib Pertama mulai dari khotbah Sri Paus hingga penaklukan Antiokhia pada tahun 1098 dan berlanjut hingga tahun 1099. Menurut karya-karya Robert, Chanson d'Antioche merupakan sumber penting yang membantu mengkatalogkan bala tentara dalam Perang Salib Pertama dan membentuk pandangan tentang perang salib dalam benak masyarakat abad pertengahan.[157] Puisi Gerusalemme liberata karya Torquato Tasso pada abad ke-16, yang terinspirasi oleh karya-karya Accolti, tersohor selama hampir dua abad.[158] Tulisan Tasso digubah menjadi biografi mengenai Godfrey of Bulloigne, atau, The recoverie of Jerusalem, karya Edward Fairfax.[159]
Historiografi lainnya adalah Historia Ecclesiastica karya penulis kronik Inggris Orderic Vitalis.[160] Karya tersebut menceritakan sejarah sosial masyarakat di Inggris pada abad pertengahan, termasuk penceritaan Perang Salib Pertama berdasarkan catatan Baldric, dengan tambahan rincian dari sumber lisan dan biografi. Gesta dan catatan lebih rinci karya Albert dari Aachen juga mendasari Historia rerum in partibus transmarinis gestarum karya William dari Tyre.[161] Karya tersebut menjadi sumber utama bagi sejarah Perang Salib Pertama dan dianggap sebagai sumber sejarah analitis pertama. Historiografi hingga abad ke-17 sangat bergantung pada karya tersebut.[162]
Perang Salib Ketiga (1189–1192), juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, merupakan suatu upaya para pemimpin Eropa untuk merebut kembali Tanah Suci dari Salahuddin al-Ayyubi. Kampanye ini memperoleh cukup banyak keberhasilan dengan merebut kota penting Akko dan Jaffa (Yafo), juga membalikkan sebagian besar wilayah yang dikuasai tentara muslim, tetapi gagal merebut Yerusalem yang menjadi motivasi emosional dan spiritual utama dari Perang Salib itu sendiri.
Setelah kegagalan Perang Salib Kedua, Dinasti Zengid mengendalikan Suriah yang telah dipersatukan dan terlibat dalam konflik dengan para pemimpin Fatimiyah dari Mesir. Para pasukan Suriah dan Mesir akhirnya bersatu di bawah pimpinan Salahuddin Al Ayyubi untuk mengurangi dominasi negara-negara Kristen dan berhasil merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187. Karena didorong oleh semangat religius, Raja Henry II dari Inggris dan Raja Philippe II dari Prancis (dikenal sebagai Philippe Auguste) mengakhiri konflik di antara mereka demi memimpin suatu perang salib yang baru. Namun meninggalnya Henry pada tahun 1189 membuat kontingen Inggris berada di bawah komando penggantinya, Richard I dari Inggris (dikenal sebagai Richard sang Hati Singa). Kaisar Romawi Suci Friedrich Barbarossa yang sudah lanjut usia juga menanggapi panggilan untuk mengangkat senjata, memimpin pasukan besar melintasi Anatolia, tetapi ia tenggelam di sebuah sungai di Asia Kecil pada tanggal 10 Juni 1190 sebelum mencapai Tanah Suci. Kematiannya menyebabkan kesedihan yang luar biasa di kalangan Tentara Salib Jerman, dan kebanyakan dari pasukan tersebut pulang ke asalnya.
Setelah para tentara salib menghalau kaum Muslim dari Akko, Philippe bersama dengan penggantinya Friedrich, yaitu Luitpold V, Adipati Austria (dikenal sebagai Luitpold yang Budiman), meninggalkan Akko pada bulan Agustus 1191. Pada tanggal 2 September 1192, Richard dan Salahuddin merampungkan suatu perjanjian yang memberikan kendali atas Yerusalem kepada kaum Muslim dengan tetap mengizinkan para pedagang dan peziarah Kristen untuk mengunjungi kota tersebut. Richard meninggalkan daerah Levant pada tanggal 2 Oktober. Hasil Perang Salib Ketiga memungkinkan para tentara salib untuk mempertahankan negara-negara yang cukup besar di Siprus dan pesisir Suriah. Namun kegagalan untuk merebut kembali Yerusalem kemudian menyebabkan terjadinya Perang Salib Keempat.
* Third Crusade, Diskusi BBC Radio 4 dengan Jonathan Riley-Smith, Carole Hillenbrand dan Tariq Ali (In Our Time, Nov. 29, 2001)
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Perang Salib Ketiga (1189–1192), juga dikenal sebagai Perang Salib Para Raja, merupakan suatu upaya para pemimpin Eropa untuk merebut kembali Tanah Suci dari Salahuddin al-Ayyubi. Kampanye ini memperoleh cukup banyak keberhasilan dengan merebut kota penting Akko dan Jaffa (Yafo), juga membalikkan sebagian besar wilayah yang dikuasai tentara muslim, tetapi gagal merebut Yerusalem yang menjadi motivasi emosional dan spiritual utama dari Perang Salib itu sendiri.
Setelah kegagalan Perang Salib Kedua, Dinasti Zengid mengendalikan Suriah yang telah dipersatukan dan terlibat dalam konflik dengan para pemimpin Fatimiyah dari Mesir. Para pasukan Suriah dan Mesir akhirnya bersatu di bawah pimpinan Salahuddin Al Ayyubi untuk mengurangi dominasi negara-negara Kristen dan berhasil merebut kembali Yerusalem pada tahun 1187. Karena didorong oleh semangat religius, Raja Henry II dari Inggris dan Raja Philippe II dari Prancis (dikenal sebagai Philippe Auguste) mengakhiri konflik di antara mereka demi memimpin suatu perang salib yang baru. Namun meninggalnya Henry pada tahun 1189 membuat kontingen Inggris berada di bawah komando penggantinya, Richard I dari Inggris (dikenal sebagai Richard sang Hati Singa). Kaisar Romawi Suci Friedrich Barbarossa yang sudah lanjut usia juga menanggapi panggilan untuk mengangkat senjata, memimpin pasukan besar melintasi Anatolia, tetapi ia tenggelam di sebuah sungai di Asia Kecil pada tanggal 10 Juni 1190 sebelum mencapai Tanah Suci. Kematiannya menyebabkan kesedihan yang luar biasa di kalangan Tentara Salib Jerman, dan kebanyakan dari pasukan tersebut pulang ke asalnya.
Setelah para tentara salib menghalau kaum Muslim dari Akko, Philippe bersama dengan penggantinya Friedrich, yaitu Luitpold V, Adipati Austria (dikenal sebagai Luitpold yang Budiman), meninggalkan Akko pada bulan Agustus 1191. Pada tanggal 2 September 1192, Richard dan Salahuddin merampungkan suatu perjanjian yang memberikan kendali atas Yerusalem kepada kaum Muslim dengan tetap mengizinkan para pedagang dan peziarah Kristen untuk mengunjungi kota tersebut. Richard meninggalkan daerah Levant pada tanggal 2 Oktober. Hasil Perang Salib Ketiga memungkinkan para tentara salib untuk mempertahankan negara-negara yang cukup besar di Siprus dan pesisir Suriah. Namun kegagalan untuk merebut kembali Yerusalem kemudian menyebabkan terjadinya Perang Salib Keempat.
* Third Crusade, Diskusi BBC Radio 4 dengan Jonathan Riley-Smith, Carole Hillenbrand dan Tariq Ali (In Our Time, Nov. 29, 2001)
Definisi Perang Salib adalah serangkaian perang agama yang dikobarkan pada tahun 1095 oleh Gereja Katolik Roma. Mereka melanjutkan, dalam berbagai bentuk, selama berabad-abad. Perang Salib yang paling terkenal terjadi antara 1095 dan 1291 di Timur Dekat, di mana tentara Kristen Eropa berusaha untuk merebut kembali kota Yerusalem dari kekuasaan Islam.
Timur Dekat adalah istilah yang sering digunakan arkeolog dan sejarawan untuk merujuk kepada kawasan Levant atau Syam (sekarang Palestina, Jalur Gaza, Lebanon, Suriah, Tepi Barat dan Yordania), Anatolia (sekarang Turki), Mesopotamia (Irak dan Suriah timur), dan Plato Iran (Iran).
Ada Perang Salib lainnya melawan Muslim di Iberia dan melawan kaum pagan dan sesama Kristen di Eropa yang dianggap sesat oleh Gereja Katolik. Setelah Perang Salib Pertama (1095-1099) diluncurkan oleh Paus Urbanus II, sebagian besar Tanah Suci diduduki oleh Negara-negara Tentara Salib Eropa, serta perintah militer seperti Ksatria Templar. Pada akhir abad ke-18 Perang Salib telah berakhir, meninggalkan Eropa dan Timur Dekat selamanya berubah.
Definisi Perang Salib
Morton mengklaim sulit untuk mendefinisikan dengan tepat apa itu definisi perang salib. “Baik kepausan maupun siapa pun tidak merujuk pada Perang Salib paling awal seperti itu. Pada saat itu, para penulis kadang-kadang menggambarkan tentara salib sebagai ‘crucesignati’ — yang berarti ‘orang yang ditandai dengan tanda salib’ — tetapi di lain waktu, mereka menggambarkannya menggunakan kata lain seperti ‘peziarah’. Definisi Perang Salib juga berkembang dari waktu ke waktu, mengambil berbagai bentuk dan beroperasi di banyak wilayah geografis yang berbeda – yang semuanya mempersulit pembuatan definisi yang mudah,” tulisnya.
Ada beberapa fitur utama yang membantu sejarawan untuk menemukan definisi Perang Salib. “Agar dianggap sebagai ‘Perang Salib’ yang sebenarnya, perang itu harus didukung oleh paus. Selain itu, seorang Tentara Salib sejati mengambil sumpah Perang Salib dan kemudian menjahit salib ke pakaian mereka untuk melambangkan komitmen mereka. Mereka juga memakai simbol secara tradisional. terkait dengan ziarah — seperti ‘naskah’ (kantong) dan staf peziarah.
Seiring waktu, tentara salib memperoleh status hukum tertentu, yang memberi mereka hak istimewa yang dirancang untuk melindungi mereka dan keluarga mereka selama ketidakhadiran mereka; status seperti itu juga disertai dengan hukuman jika mereka gagal memenuhi sumpah mereka”.
Ketika Perang Salib I meletus, istilah “Perang Salib” belum dikenal. Kampanye militer umat Kristen kala itu disebut dengan “lawatan” (bahasa Latin: iter) atau “ziarah” (bahasa Latin: peregrinatio). Perang-perang dengan restu dari gereja ini baru dikait-kaitkan dengan istilah “salib” setelah kata “crucesignatus” (orang yang diberi tanda salib) dari bahasa Latin mulai digunakan pada akhir abad ke-12.
Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, etimologi kata “crusade” (istilah Inggris untuk “Perang Salib”) berkaitan dengan kata croisade dalam bahasa Prancis modern, croisée dalam bahasa Prancis kuno, crozada dalam bahasa Provençal, cruzada dalam bahasa Portugis dan Spanyol, dan crociata dalam bahasa Italia. Semua kata ini adalah turunan dari kata cruciāta atau cruxiata dalam bahasa Latin Abad Pertengahan, yang mula-mula berarti “menyiksa” atau “menyalibkan”, tetapi sejak abad ke-12 juga berarti “membuat tanda salib”.
Istilah “Perang Salib” dapat saja dimaknai secara berbeda, tergantung dari pandangan penulis yang menggunakannya. Giles Constable dalam The Historiography of the Crusades (2001) menjabarkan empat sudut pandang berbeda di kalangan para pengkaji sejarah sebagai berikut.
Definisi Perang Salib
Morton mengklaim sulit untuk mendefinisikan dengan tepat apa itu definisi perang salib. “Baik kepausan maupun siapa pun tidak merujuk pada Perang Salib paling awal seperti itu. Pada saat itu, para penulis kadang-kadang menggambarkan tentara salib sebagai ‘crucesignati’ — yang berarti ‘orang yang ditandai dengan tanda salib’ — tetapi di lain waktu, mereka menggambarkannya menggunakan kata lain seperti ‘peziarah’. Definisi Perang Salib juga berkembang dari waktu ke waktu, mengambil berbagai bentuk dan beroperasi di banyak wilayah geografis yang berbeda – yang semuanya mempersulit pembuatan definisi yang mudah,” tulisnya.
Ada beberapa fitur utama yang membantu sejarawan untuk menemukan definisi Perang Salib. “Agar dianggap sebagai ‘Perang Salib’ yang sebenarnya, perang itu harus didukung oleh paus. Selain itu, seorang Tentara Salib sejati mengambil sumpah Perang Salib dan kemudian menjahit salib ke pakaian mereka untuk melambangkan komitmen mereka. Mereka juga memakai simbol secara tradisional. terkait dengan ziarah — seperti ‘naskah’ (kantong) dan staf peziarah.
Seiring waktu, tentara salib memperoleh status hukum tertentu, yang memberi mereka hak istimewa yang dirancang untuk melindungi mereka dan keluarga mereka selama ketidakhadiran mereka; status seperti itu juga disertai dengan hukuman jika mereka gagal memenuhi sumpah mereka”.
Ketika Perang Salib I meletus, istilah “Perang Salib” belum dikenal. Kampanye militer umat Kristen kala itu disebut dengan “lawatan” (bahasa Latin: iter) atau “ziarah” (bahasa Latin: peregrinatio). Perang-perang dengan restu dari gereja ini baru dikait-kaitkan dengan istilah “salib” setelah kata “crucesignatus” (orang yang diberi tanda salib) dari bahasa Latin mulai digunakan pada akhir abad ke-12.
Menurut Kamus Bahasa Inggris Oxford, etimologi kata “crusade” (istilah Inggris untuk “Perang Salib”) berkaitan dengan kata croisade dalam bahasa Prancis modern, croisée dalam bahasa Prancis kuno, crozada dalam bahasa Provençal, cruzada dalam bahasa Portugis dan Spanyol, dan crociata dalam bahasa Italia. Semua kata ini adalah turunan dari kata cruciāta atau cruxiata dalam bahasa Latin Abad Pertengahan, yang mula-mula berarti “menyiksa” atau “menyalibkan”, tetapi sejak abad ke-12 juga berarti “membuat tanda salib”.
Istilah “Perang Salib” dapat saja dimaknai secara berbeda, tergantung dari pandangan penulis yang menggunakannya. Giles Constable dalam The Historiography of the Crusades (2001) menjabarkan empat sudut pandang berbeda di kalangan para pengkaji sejarah sebagai berikut.
Ada Berapa Perang Salib?
Beberapa Perang Salib terjadi antara abad ke-11 dan ke-13, tetapi jumlah pastinya masih diperdebatkan di antara para sejarawan. “Sejarawan umumnya cukup konsisten dalam menomori lima perang salib terbesar ke Mediterania Timur, menggunakan istilah seperti ‘Perang Salib Pertama’, ‘Perang Salib Kedua,’ dan seterusnya,” tulis Morton.
“Masalahnya adalah bahwa sistem penomoran ini tidak komprehensif dan juga tidak digunakan oleh orang-orang sezaman. Selama Perang Salib Pertama, yang berlangsung dari 1095 hingga 1099, tentara Kristen Eropa mengalahkan Yerusalem dan mendirikan Negara Tentara Salib. Setelah Perang Salib Kelima, beberapa sejarawan modern mengidentifikasi beberapa perang salib di akhir abad ke-13 dengan menggunakan label seperti perang salib Keenam, Ketujuh, dan Kedelapan. Namun, konsistensinya kurang di sini.”
Perang Salib di Timur
Joscelin mencoba merebut kembali Edessa setelah pembunuhan Zengi, tetapi Nuruddin menaklukannya pada November 1146. Pada 16 Februari 1147, tentara salib Prancis bertemu di Étampes untuk mendiskusikan rute mereka. Jerman memilih untuk melewati Hungaria karena Roger II, Raja Sisilia, adalah musuh Conrad dan rute laut secara politis tidak praktis. Banyak bangsawan Prancis tidak mempercayai jalur yang akan membawa mereka melalui Kekaisaran Romawi Timur tersebut, yang memiliki sejarah buruk pada masa Perang Salib Pertama. Meskipun demikian, akhirnya mereka memutuskan untuk mengikuti Conrad, dan direncanakan berangkat pada 15 Juni. Roger II merasa tersinggung dan menolak berpartisipasi lebih lanjut. Di Prancis, Kepala Biara Suger dan William II dari Nevers terpilih sebagai wali raja sementara raja pergi mengikuti perang salib. Di Jerman, pengkhotbahan lebih lanjut dikumandangkan oleh Adam dari Ebrach dan Otto dari Freising. Pada 13 Maret di Frankfurt, putra Conrad, Frederick, terpilih sebagai raja dibawah perwakilan Henry, Uskup kepala Mainz. Jerman berencana pergi ke Tanah Suci pada hari Paskah, tetapi mereka tidak berangkat sampai bulan Mei.[20]
Tentara salib Jerman, tediri dari Franconia, Bayern, dan Swabia, meninggalkan tanah air mereka pada Mei 1147. Ottokar III dari Styria bergabung dengan Conrad di Wina, dan musuh Conrad, Geza II dari Hungaria, akhirnya membiarkan mereka lewat. Ketika 20.000 pasukan Jerman tiba di wilayah Bizantium, Manuel takut mereka akan menyerang Bizantium, dan pasukan Romawi Timur ditugaskan untuk memastikan agar tidak terjadi masalah apapun. Pertempuran-pertempuran kecil dengan beberapa orang Jerman yang tidak mau menurut meletus di dekat Philippopolis dan di Adrianopel, tempat jendral Bizantium, Prosouch, bertempur dengan keponakan Conrad, yang nantinya akan menjadi kaisar, Frederick. Lebih buruk lagi, beberapa pasukan Jerman tewas karena banjir pada awal bulan September. Pada 10 September, mereka tiba di Konstantinopel. Hubungan dengan Manuel kurang baik dan orang Jerman diminta untuk menyeberang ke Asia Kecil secepat mungkin. Manuel ingin Conrad meninggalkan beberapa pasukannya di belakang untuk membantunya bertahan melawan serangan Roger II, yang telah mengambil kesempatan untuk untuk merebut kota-kota di Yunani, tetapi Conrad menolak, walaupun ia adalah musuh dari Roger.[21]
Di Asia Kecil, Conrad memilih untuk tidak menunggu pasukan Prancis, dan maju menyerang Iconium, ibu kota Kesultanan Rum. Conrad memisahkan pasukannya menjadi 2 divisi. Conrad memimpin salah satu 1 divisi, yang hampir dihancurkan oleh Seljuk pada 25 Oktober 1147 dalam Pertempuran Dorylaeum Kedua.[22]
Turki Seljuk menggunakan taktiknya. Mereka berpura-pura mundur, lalu menyerang kavaleri kecil Jerman yang terpisah dari pasukan utama karena mengejar mereka. Conrad mulai mundur pelan-pelan ke Konstantinopel, dan pasukannya diganggu setiap hari oleh Turki Seljuk, yang menyerang dan menaklukan penjaga depan. Bahkan Conrad terluka saat bertempur dengan mereka. Divisi yang lain, dipimpin oleh Otto dari Freising, maju ke selatan pantai Mediterania dan dapat ditaklukan pada awal tahun 1148.[23]
Tentara salib Prancis berangkat dari Metz pada bulan Juni 1147, dipimpin oleh Louis, Thierry dari Elsas, Renaut I dari Bar, Amadeus III dari Savoy dan saudaranya William V dari Montferrat, William VII dari Auvergne, dan lain-lain, bersama dengan pasukan Lorraine, Bretagne, Burgundi, dan Aquitaine. Pasukan dari Provence, dipimpin oleh Alphonse dari Tolosa, memilih untuk menunggu sampai bulan Agustus. Di Worms, Louis bergabung dengan tentara salib dari Normandia dan Inggris. Mereka mengikuti rute Conrad dengan damai, meskipun Louis datang dalam konflik dengan Geza dari Hungaria sat Geza menemukan Louis telah mempersilakan orang Hungaria untuk bergabung dengan pasukannya.[24]
Sejak negosiasi awal di antara Louis dan Manuel, Manuel telah menghentikan kampanye militer melawan Kesultanan Rüm dan menandatangani gencatan senjata dengan Mas'ud. Hal ini dilakukan sehingga Manuel dapat memusatkan perhatiannya pada pertahanan kekaisarannya dari tentara salib, yang memiliki reputasi buruk akibat pencurian dan pengkhianatan sejak Perang Salib Pertama. Mereka dituduh melakukan hal yang jahat di Konstantinopel. Hubungan Manuel dengan pasukan Prancis lebih baik daripada dengan orang Jerman. Beberapa orang Prancis marah karena gencatan senjata Manuel dengan Seljuk dan melakukan penyerangan di Konstantinopel, tetapi mereka dapat dikendalikan oleh Louis.[25]
Ketika pasukan dari Savoy, Auvergne, dan Montferrat bergabung dengan Louis di Konstantinopel dengan melewati Italia dan menyeberang dari Brindisi menuju Durres, seluruh pasukan mereka menyeberangi Bosporus menuju Asia Kecil melalui kapal. Mereka disemangati oleh rumor bahwa Jerman telah merebut Iconium, tetapi Manuel menolak memberi Louis bantuan tentara Bizantium. Bizantium baru saja diserang oleh Roger II dari Sisilia, dan seluruh pasukan Manuel dibutuhkan di Balkan. Baik Jerman dan Prancis memasuki Asia tanpa bantuan Bizantium, tidak seperti pada Perang Salib Pertama. Dalam tradisi yang dibuat oleh kakek dari Manuel, Alexios I, Manuel menyuruh orang Prancis untuk menyerahkan wilayah manapun yang direbutnya kepada Romawi Timur.[26]
Pasukan Prancis bertemu sisa pasukan Conrad di Nicea, dan Conrad bergabung dengan pasukan Louis. Mereka mengikuti rute Otto dari Freising, dan tiba di Efesus pada bulan Desember. Di situ, mereka menyadari bahwa Turki Seljuk mempersiapkan serangan terhadap mereka. Sementara itu, Manuel mengirim utusan yang menyatakan keluhan mengenai penjarahan dan perampasan yang dilakukan oleh Louis, dan tidak ada jaminan bahwa Bizantium akan membantu mereka melawan Turki Seljuk. Setelah itu, Conrad jatuh sakit dan kembali ke Konstantinopel. Louis tidak mendengarkan peringatan mengenai serangan Seljuk dan lalu bergerak keluar Efesus. Seljuk menunggu menyerang, tetapi dalam pertempuran kecil di luar Efesus, pasukan Prancis berhasil memenangkan pertempuran.[27]
Mereka mencapai Laodicea pada Januari 1148, hampir pada waktu yang sama ketika Otto dari Freising dihancurkan di tempat yang sama.[28] Perjalanan pun tetap dilanjutkan. Barisan depan dibawah pimpinan Amadeus dari Savoy terpisah dari pasukan di Gunung Cadmus, sementara pasukan Louis mengalami kekalahan. Pasukan Turki tidak mengganggu dengan menyerang lebih lanjut dan pasukan Prancis bergerak menuju Adalia. Adalia telah dihancurkan oleh Seljuk, dan juga dibakar agar pasukan Prancis tidak mendapat makanan. Louis tidak lagi ingin melalui jalur darat, dan memilih untuk mengumpulkan armada di Adalia dan berlayar ke Antiokhia.[22] Setelah terlambat selama 1 bulan karena badai, hampir semua kapal yang dijanjikan tidak tiba. Louis dan koleganya mengambil kapal untuk diri mereka sendiri, sementara sisa pasukan harus melanjutkan perjalanan yang jauh ke Antiokhia. Pasukan itu hancur, baik karena serangan Turki maupun karena sakit.[29]
Louis tiba di Antiokhia pada tanggal 19 Maret, setelah terlambat akibat badai. Amadeus dari Savoy meninggal di Siprus selama perjalanan. Louis disambut oleh paman Aliénor, Raymond. Raymond mengharapkan ia membantunya bertahan melawan Seljuk dan menemaninya dalam ekspedisi melawan Aleppo, tetapi Louis menolak. Ia lebih memilih untuk menyelesaikan peziarahannya di Yerusalem daripada memusatkan perhatian pada aspek militer perang salib.[30] Raymond ingin agar Aliénor, istri Louis, tetap berada di belakang dan menceraikan Louis jika ia menolak membantunya. Louis segera meninggalkan Antiokhia menuju County Tripoli, meninggalkan Aliénor. Sementara itu, Otto dari Freising dan sisa pasukannya tiba di Jerusalam pada awal bulan April, setelah itu Conrad segera sampai.[31] Fulk, Patriark Yerusalem, dikirim untuk mengundang Louis bergabung dengan mereka. Armada yang berhenti di Lisboa tiba, dan juga Provencal dibawah komando Aphonse dari Tolosa. Alphonse sendiri tewas dalam perjalanan menuju Yerusalem karena diracuni oleh Raymond II dari Tripoli, keponakannya yang takut akan aspirasi politiknya di Tripoli. Target utama tentara salib adalah Edessa, tetapi target yang lebih diutamakan oleh Raja Baldwin III dan Ordo Bait Allah adalah Damaskus.[30]
Bangsawan Yerusalem menyambut datangnya pasukan dari Eropa, dan diumumkan bahwa konsili harus dihimpunkan untuk menentukan target terbaik tentara salib. Pertemuan berlangsung pada tanggal 24 Juni 1148. Dewan Haute Cour bertemu dengan tentara salib dari Eropa di Palmarea, dekat kota Akko (kota utama di Kerajaan Yerusalem). Baik Louis maupun Conrad dibujuk untuk menyerang Damaskus.[32]
Beberapa bangsawan (baron) Yerusalem menyatakan bahwa menyerang Damaskus adalah tindakan yang tidak bijaksana, karena Dinasti Burid di Damaskus, meskipun Muslim, adalah sekutu mereka melawan dinasti Zengid. Conrad, Louis, dan Baldwin bersikeras bahwa Damaskus adalah kota suci untuk Kekristenan. Seperti Yerusalem dan Antiokhia, Damaskus akan menjadi hadiah yang patut diperhitungkan di mata Kristen Eropa. Pada bulan Juli, pasukan mereka dikumpulkan di Tiberias dan bergerak menuju Damaskus. Mereka berjumlah 50.000 tentara.[33]
Tentara salib memilih untuk menyerang Damaskus dari barat, tempat berdirinya kebun buah yang akan memberi mereka makanan.[32] Mereka tiba pada tanggal 23 Juli. Pasukan Muslim sudah siap untuk serangan tersebut dan langsung menyerang pasukan yang bergerak melalui perkebunan di luar Damaskus. Damaskus meminta bantuan dari Saifuddin Ghazi I dari Aleppo dan Nuruddin Zengi dari Mosul. Damaskus lalu menyerang perkemahan tentara salib. Tentara salib dapat dipukul mundur dari tembok ke perkebunan. Di sana mereka rentan terhadap serangan gerilya.[30]
Menurut William dari Tirus, pada 27 Juli, tentara salib memilih untuk bergerak ke bagian timur, yang lebih sedikit pertahanannya, tetapi lebih kurang lagi persediaan makanan dan airnya.[32] Nuruddin dan Saifuddin telah tiba. Dengan hadirnya Nuruddin di lapangan, sangatlah tidak mungkin bagi tentara salib untuk kembali ke posisi mereka yang lebih baik.[30] Pemimpin tentara salib lokal menolak untuk meneruskan pengepungan, dan ketiga raja tidak memiliki pilihan selain meninggalkan kota.[32] Conrad, lalu sisa pasukan, memilih untuk mundur kembali ke Yerusalem pada 28 Juli. Ketika mundur, mereka diikuti oleh pemanah Turki yang terus menerus menyerang mereka.[34]
Setiap pihak Kristen merasa saling dikhianati satu sama lain.[32] Rencana baru dibuat untuk menyerang Ascalon, dan Conrad membawa pasukannya kesana, tetapi tidak ada bantuan tiba, karena kurangnya kepercayaan akibat kegagalan pengepungan Damaskus. Ketidakpercayaan ini terus berkepanjangan, sehingga menghancurkan kerajaan Kristen di Tanah Suci. Setelah ekspedisi Ascalon dihentikan, Conrad kembali ke Konstantinopel untuk memperkuat aliansi dengan Manuel. Louis tetap berada di Yerusalem sampai tahun 1149.
Bernardus dari Clairvaux juga dipermalukan oleh kekalahan ini. Bernardus meminta maaf kepada Paus. Dalam bagian kedua bukunya, Book of Considerations, Bernardus menjelaskan bagaimana dosa-dosa yang dilakukan para tentara salib adalah penyebab kemalangan dan kegagalan mereka. Ketika usahanya untuk menyerukan perang salib baru gagal, ia mencoba memisahkan dirinya dari kegagalan Perang Salib Kedua.[35] Bernardus meninggal dunia pada tahun 1153.
Perang Salib Wend membuahkan hasil yang manis dan pahit. Walaupun Sachsen berhasil menyatakan Wagria dan Polabia sebagai jajahan mereka, kelompok pagan tetap menguasai wilayah Obodrit di sebelah timur Lübeck. Sachsen menerima upeti dari Niklot, memungkinkan kolonisasi Keuskupan Havelberg, dan pembebasan beberapa tahanan Denmark, namun pemimpin-pemimpin Kristen saling mencurigai dan menuduh satu sama lain atas tuduhan mensabotase kampanye militer. Di Iberia, kampanye militer di Spanyol, dan juga pengepungan Lisboa, merupakan satu-satunya kemenangan Kristen dalam Perang Salib Kedua. Kampanye tersebut dianggap sebagai pertempuran penting dalam Reconquista, yang akan selesai pada tahun 1492.[19]
Serangan terhadap Damaskus membawa malapetaka kepada Yerusalem: Damaskus tidak lagi percaya kepada negara-negara tentara salib, dan kota itu diberikan kepada Nuruddin tahun 1154. Baldwin III menguasai Ascalon pada tahun 1153, yang menyeret Mesir kedalam konflik ini. Yerusalem mampu memasuki Mesir dan merebut Kairo pada tahun 1160.[36] Akan tetapi, bantuan dari Eropa jarang datang setelah bencana yang diakibatkan oleh Perang Salib Kedua. Raja Amalric I dari Yerusalem bersekutu dengan Romawi Timur dan melancarkan invasi gabungan ke Mesir tahun 1169, tetapi serangan ini gagal. Pada tahun 1171, Salahuddin Ayyubi, keponakan dari salah satu jenderal Nuruddin, menjadi Sultan Mesir. Ia mempersatukan Mesir dan Suriah, lalu mengepung kerajaan tentara salib. Sementara itu, aliansi dengan Bizantium berakhir setelah kematian Kaisar Manuel I pada tahun 1180, dan pada tahun 1187, Yerusalem diserang dan direbut oleh Salahuddin. Pasukannya lalu menyebar ke utara dan merebut semua ibu kota negara-negara tentara salib, memicu meletusnya Perang Salib Ketiga.[37]
Definisi Perang Salib adalah serangkaian perang agama yang dikobarkan pada tahun 1095 oleh Gereja Katolik Roma. Mereka melanjutkan, dalam berbagai bentuk, selama berabad-abad. Perang Salib yang paling terkenal terjadi antara 1095 dan 1291 di Timur Dekat, di mana tentara Kristen Eropa berusaha untuk merebut kembali kota Yerusalem dari kekuasaan Islam.
Timur Dekat adalah istilah yang sering digunakan arkeolog dan sejarawan untuk merujuk kepada kawasan Levant atau Syam (sekarang Palestina, Jalur Gaza, Lebanon, Suriah, Tepi Barat dan Yordania), Anatolia (sekarang Turki), Mesopotamia (Irak dan Suriah timur), dan Plato Iran (Iran).
Ada Perang Salib lainnya melawan Muslim di Iberia dan melawan kaum pagan dan sesama Kristen di Eropa yang dianggap sesat oleh Gereja Katolik. Setelah Perang Salib Pertama (1095-1099) diluncurkan oleh Paus Urbanus II, sebagian besar Tanah Suci diduduki oleh Negara-negara Tentara Salib Eropa, serta perintah militer seperti Ksatria Templar. Pada akhir abad ke-18 Perang Salib telah berakhir, meninggalkan Eropa dan Timur Dekat selamanya berubah.
Sudut Pandang Kaum Generalis
Kaum generalis memandang definisiPerang Salib sebagai segala macam perang suci yang berkaitan dengan Gereja Latin dan yang dilakukan sebagai tindakan bela agama.